Sejarah Al-Khulafa’ al-Rosyidin



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Khulafa’ al-Rosyidin merupakan pemimpin Islam dari kalangan sahabat, pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berhak untuk memberikan bai’at (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Al-Khulafa’ al-Rosyidin adalah para penganti Nabi. Islam sebagai sebuah ajaran dan Islam sebagai institusi negara mulai tumbuh dan berkembang pada masa tersebut.[1]
Al-Khulafa’ al-Rosyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat sebagai pemimpin negara dan pemimpin masyarakat. Pemilihan keempat pemimpin ini melalui cara yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena Nabi tidak menetapkan bagaimana suksesi kepemimpinan umat Islam setelah  Nabi wafat. Empat khalifah ini merupakan orang-orang mulia dan memiliki peran yang cukup menonjol di Makkah dan Madinah. Mereka dikenal sebagai rasyidin, khalifah-khalifah yang “mendapatkan petunjuk”, dan model pemerintahan yang mereka pakai sama formatifnya dengan yang dilakukan oleh Nabi.[2] Khulafaur Rasyidin merupakan istilah gelar  resmi merujuk pada empat khalifah pertama Islam, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Islam pada masa khulafaur rasyidin tetap pada aslinya sebagaimana yang dibawa oleh Nabi, namun ada beberapa hal yang tentunya berbeda dari empat khalifah Islam yang merupakan corak tersendiri pada setiap masa kepemimpinannya. Adapun untuk lebih jelasnya kedua tokoh yang dari keempat khilafah Islam (Abu Bakar dan Usman bin Affan) secara lebih jelasnya telah penulis paparkan pada makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas maka dirasa perlu untuk merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini:
1.        Bagaimana biografi tokoh khilafah al-Rasyidah I-II?
2.        Bagaimanakah Islam pada masa khilafah al-Rasyidah I-II?
3.        Bagaimana cara pembentukan khilafah pada masa khilafah al-Rasyidah I-II?
4.        Bagaimanakah sistem ghanimah yang dijalankan pada masa khilafah al-Rasyidah I-II?
5.        Bagaimanakah sistem pertanahan yang dijalankan pada masa khilafah al-Rasyidah I-II?
6.        Bagaiamanakah perkembangan Islam sebagai kekuatan politik di masa khilafah al-Rasyidah I-II?


C.    Tujuan Makalah
Melihat rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan untuk:
1.        Menjelaskan biografi tokoh khilafah al-Rasyidah I-II
2.        Menguraikan tentang Islam pada masa khilafah al-Rasyidah I-II
3.        Menjelaskan cara pembentukan khilafah pada masa khilafah al-Rasyidah I-II
4.        Menjelaskan sistem ghanimah yang dijalankan pada masa khilafah al-Rasyidah I-II
5.        Menjelaskan sistem pertanahan yang dijalankan pada masa khilafah al-Rasyidah I-II
6.        Menjelaskan perkembangan Islam sebagai kekuatan politik di masa khilafah al-Rasyidah I-II

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Tokoh
1.      Biografi Abu Bakar
Abu Bakar As-Shidiq adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang mempunyai nama lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Pada zaman pra Islam ia bernama Abu Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi SAW. Menjadi Abdullah. Beliau lahir pada tahun 573 M, dan wafat pada tanggal 23 Jumadil akhir tahun 13 H bertepatan dengan bulan Agustus 634 M, dalam usianya 63 tahun, usianya lebih muda dari Nabi SAW 3 tahun. Diberi julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk orang laki-laki  yang  masuk Islam pertama kali. Sedangkan  gelar As-Shidiq diperoleh  karena beliau senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj.[3]
Setelah masuk Islam, beliau menjadi anggota yang paling menonjol dalam jamaah Islam setelah Nabi SAW. Beliau terkenal karena keteguhan pendirian, kekuataniman, dan kebijakan pendapatnya. Beliau pernah diangkat sebagai panglima perang oleh Nabi SAW, agar ia mendampingi Nabi untuk bertukar pendapat atau berunding.
Pekerjaan pokoknya adalah berniaga, sejak zaman jahiliyah sampai setelah diangkat menjadi Khalifah. Sehingga pada suatu hari beliau ditegur oleh Umar ketika akan pergi ke pasar seperti biasanya: “Jika engkau masih sibuk dengan perniagaanmu, siapa yang akan melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan?”. Jawab Abu Bakar: “Jadi dengan apa saya mesti memberi makan keluargasaya?“. Lalu diputuskan untuk menggaji Khalifah dari baitul mal sekedar mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam taraf yang amat sederhana.
Abu Bakar adalah putra dari keluarga bangsawan yang terhormat di Makkah. Semasa kecil dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati serta kemuliaan akhlaknya, sehingga setiap orang mencintainya. Ketika Nabi SAW mengajak manusia memeluk agama Islam, Abu Bakar merupakan orang pertama dari kalangan pemuda yang menanggapi seruan Rasulullah, sehingga Nabi SAW memberinya gelar “Ash-Siddiq”.

2.      Biografi Umar bin Khattab
Umar bin Khattab adalah putra Nufail Al-Quraisy, dari suku Bani Adi. Sebelum Islam Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah dan berkedudukan tinggi. Khalifah kedua dalam Islam dan juga orang kedua dari kalangan Khulafa al-Rasyidun (Khalifah yang lurus). Ia merupakan satu diantara tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam. Ia terkenal dengan tekad dan kehendaknya yang sangat kuat, cekatan, dan karakternya yang berterus terang. Sebelum menjadi khalifah ia dikenal sebagai pribadi yang keras dan tidak mengenal kompromi dan bahkan kejam.
Semula   ia   adalah   musuh  Islam  yang   sangat  bengis.  Perubahan pendiriannya yang  terjadi pada  tahun  keempat sebelum hijrah merupakan peristiwa yang sangat terkenal. Ia telah memutuskan untuk membunuh Nabi, namun ketika mendengar perihal saudara perempuannya yang bernama Fathimah bersama suaminya yang bernama Sa’id ibnu Zayd telah memeluk agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad, maka ia segera mencari keduanya untuk memberikan  peringatan  kepada keduanya.  Tetapi ketika Umar mendapatkan keduanya sedang membaca al-Quran, Umar menjadi berminat memeluk agama Islam. Dan setelah ia masuk Islam, ia menjadi sahabat yang sangat setia, bahkan pada akhir hayatnya ia berkata: kematian akan sangat buruk bagiku, seandainya aku tidak menjadi seorang muslim.[4]

B.        Islam pada Masa Khalifah al-Rasyidah I-II
1.        Islam pada Masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq
Banyak proses-proses berat yang di hadapi Abu Bakar di awal pemerintahannya, adapun  beberapa kesulitan yang dihadapi oleh khalifah Abu Bakar misalnya adalah, banyak umat Muslim yang murtad atau keluar dari Islam akibat enggan membayar zakat, mereka menganggap membayar zakat hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup. Adapun  pemurtadan yang lain itu akibat timbul banyak nabi-nabi palsu, dan disitulah banyak umat muslim yang ikut ajaran nabi palsu tersebut.
a)      Memerangi kaum murtad
Peristiwa kaum murtad ini dikenal dengan istilah “Ar -riddah”, yang berarti kemurtadan atau beralih agama dari Islam kepada kepercayaan semula. Secara  politis, Ar-riddah merupakan pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan. Gerakan ini muncul sebagai akibat kewafatan Rasulullah Saw. Mereka melepaskan kesetiaannya kepada khalifah, bahkan menentang agama Islam karena menganggap  bahwa perjanjian yang dibuat Rasulullah Saw. batal disebabkan kewafatannya. Gerakan mereka mengancam stabilitas keamanan wilayah dan kekuasaan Islam. Oleh karena itu, khalifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan gerakan tersebut.[5]
Abu Bakar tinggal di Madinah sampai benar-benar ia merasa yakin bahwa  pasukan Usamah sudah berkumpul semua, kemuadian bersama meraka ia berangkat ke Zul-Qossah. Pasukan itu di baginya menjadi dua belas brigade dengan masing-masing dibawah pimpinan satu orang. Kemudian ia mengeluarkan perintah kepada mereka masing-masing agar memobilisasi Muslimin yang kuat-kuat dan persiapan untuk berangkat untuk menghadapi kaum murtad.[6]
Untuk melindungi kota Madinah Abu Bakar memperkuat dengan Brigade yang lebih kecil. Karena ketika itu Madinah sudah aman dari kemungkinan adanya serangan dari luar . Sejak itu Abu Bakar tidak lagi meninggalkan Madinah bukan karna tidak ingin  bersama-sama dengan muslimin dalam segala perjuangan itu, tetapi karena Madinah sudah menjadi markas komando tertinggi seluruh pasukan, dan sumber semua pengiriman perintah untuk bergerak dari tempat ke tempat yang lain. Abu Bakar mengeluarkan perintah kepada semua komandan pasukan agar jangan ada yang  pindah dari perang berkelompok yang sudah dimenangkan untuk bergerak ke tempat lain sebelum mendapat izin. Dia yakin sekali bahwa kesatuan komando dalam  perang merupakan salah satu taktik yang paling kuat dan tepat, dan jaminan untuk mencapai kemenangan. Brigade Kholid Ibn Walid adalah yang terkuat diantara belasan Brigade yang dibentuk. Anggotanya terdiri atas para pejuang pilihan dari Muhajirin dan Anshor. Dan Kholid Ibn Walid sendiri yang memilih pasukannya. Kemudian dalam menghadapi Irak dan Syam perjuangan mereka juga tiada taranya. [7]

b)      Gerakan Penumpasan Nabi Palsu
Setelah Rasulullah wafat, seluruh jazirah Arab murtad dari adama Islam kecuali Makkah, Madinah, dan Thaif. Sebagian orang murtad ini kembali kepada kekufuran lamanya dan mengikuti orang-orang yang mengaku sebagai nabi, sebagian yang lain hanya tidak mau membayar zakat. Para sahabat menasehati Abu Bakar agar dia tidak memerangi mereka karena kondisi ummat Islam yang sangat sulit dank karena sebagian pasukan Islam sedang diberangkatkan untuk berperang melawan tentara Ramawi yang dipimpin oleh Usama Ibn Zaid. Namun Abu Bakar menolak usulan mereka. Tatkala Abu Bakar mengantarkan pasukan Usama, para sahabat segera keluar ketempat-tempat masuk kota Madinah untuk menjagannya. Dia memerintahkan kepada kaum muslimin untuk selalu siap siaga di masjid untuk bersiap-siap menjaga kemungkinan terjadinya serangan mendadak di kota Madinah agar mereka akan gampang mengusir musuh yang datang itu. Abu Bakar keluar sendiri melihat kondisi  pintu-pintu masuk kota Madinah. Tak berapa lama datang sedekah dalam jumlah yang sangat banayak dari berbagai  pihak. Setelah berlangsung dua bulan, pasukan Usamah kembali dengan membawa kemenangan. Kemudian Abu Bakar memebentuk sebelas kelompok tentara untuk memerangi kelompok yang murtad dari Islam. Abu Bakar memilih sahabat-sahabat senior untuk memimpin pasukan itu. Misalnya, Khalid Ibn Walid. Khalid berangkat  dengan pasukannya untuk memerangi Bani Asas, Ghathfan, dan Amir. Pihak musuh dipimpin oleh Thulaihah Ibn Khuailid Al-asadi, seorang yang mengaku sebagai nabi  palsu. Khalid menyambut mereka di sumur Buzakhah dan menghajar mereka hingga akhirnya mereka kalah dan bertaubat. Kemudian mereka berangkat ketempat-tempat Bani Yarbu’ dan Bani Tamim yang berada di Battah. Khalid memerangi mereka dan akhirnya pemimpin yang bernama Malik Ibn Nuairah pun tewas. Khalid berhasil menaklukan mereka.[8]

c)      Gerakan Terhadap Orang-orang yang Enggan Membayar Zakat
Kekacauan yang menimpa kawasan Arab itu berkesudahan dengan berbaliknya mereka dari Islam, sementara diantara yang lain tetap dalam Islam tetapi tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar. Keengganan membayar zakat itu baik karena kikir dan kelihaian mereka seperti kelihainnya dalam mencari dan menyimpan uang, atau kerena anggapan bahwa pembayaran itu sebagai upeti yang sudah tak berlaku lagi sesudah Rasulullah tiada, dan boleh dibayarkan kepada saja yang mereka pilih sendiri sebagai pemimpinnya di Madinah. Mereka mogok tak mau membayar zakat dengan menyatakan bahwa dalam hal ini mereka tidak tunduk kepada Abu Bakar. Demikian yang terjadi dengan kabilah-kkabilah yang dekta dengan Madinah, terutama kabilah Abs dan Zubyan. Untuk memerangi mereka tidak mudah setelah Abu Bakar melaksanakan perintah mengirimkan Usamah, sebab sudah tidak ada lagi  pasukan untuk mempertahankan Madinah. Abu Bakar mengadakan rapat dengan para sehabat besar itu guna meminta saran dalam memrangi mereka yang tak mau menunaikan zakat. Umar Ibn Khattab dan  beberapa orang sahabat berpendapat untuk tidak memerangi umat yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan lebih baik meminta bantuan kepada mereka dalam menghadapi musuh bersama dan sebagian kecil yang lain menghendaki jalan kekerasan. Abu Bakar melibatkan diri mendukung gerakan minoritas, betapa kerasnya ia membela pendiriannya itu, tampak dari kata-katnya ini: “demi Allah, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah, akan aku perangi”.

2.        Islam pada Masa Khalifah Ummar bin Khattab
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan islam pada jaman Umar. Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus. 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam. Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.[9]
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Ada beberapa perkembangan peradaban Islam pada masa khalifah Umar bin Khtthab, yang meliputi Sistem pemerintahan (politik), ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan agama.
a)      Perkembangan Politik
Pada masa khalifah Umar bin khatab, kondisi politik islam dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh hasil yang gemilang. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu  segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Perluasan penyiaran Islam ke Persia sudah dimulai oleh Khalid bin Walid pada masa Khalifah Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar. Tetapi dalam usahanya itu tidak sedikit tantangan yang dihadapinya bahkan sampai menjadi peperangan.[10] Kekuasaan Islam sampai ke Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Pada masa Umar bin khatab mulai dirintis tata cara menata struktur pemerintahan yang bercorak desentralisasi. Mulai sejak masa Umar pemerintahan dikelola oleh pemerintahan pusat dan pemerintahan propinsi.
Karena telah banyak daerah yang dikuasai Islam maka sangat membutuhkan penataan administrasi pemerintahan, maka khalifah Umar membentuk lembaga pengadilan, dimana kekuasaan seorang hakim (yudikatif) terlepas dari pengaruh badan pemerintahan (eksekutif). Adapun hakim yang ditunjuk oleh Umar adalah seorang yang mempunyai reputasi yang baik dan mempunyai integritas dan keperibadian yang luhur. Zaid ibn Tsabit ditetapkan sebagai Qadhi Madinah, Ka’bah ibn Sur al-Azdi sebagai Qadhi Basrah, Ubadah ibn Shamit sebagai Qadhi Palestina, Abdullah ibn mas’ud sebagai Qadhi kufah.
Pada masa Umar ibn Khatab juga mulai berkembang suatu lembaga formal yang disebut lembaga penerangan dan pembinaan hukum islam. Dimasa ini juga terbentuknya sistem atau badan kemiliteran.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab ekspansi Islam meliputi daerah Arabia, syiria, Mesir, dan Persia. Karena wilayah Islam bertambah luas maka Umar berusaha mengadakan penyusunan pemerintah Islam dan peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
a)      Perkembangan Ekonomi
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, dan setelah Khalifah Umar mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Pada masa ini juga mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah. Dan menghapuskan zakat bagi para Mu’allaf. Ada beberapa kemajuan dibidang ekonomi antara lain :[11]
1)      Al kharaj
Kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang. Umar mengubah peraturan ini, tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (Al kharaj).



2)      Ghanimah
Semua harta rampasan perang (Ghanimah), dimasukkan kedalam Baitul Maal Sebagai salah satu pemasukan negara untuk membantu rakyat. Ketika itu, peran diwanul jund, sangat berarti dalam mengelola harta tersebut.
3)      Pemerataan zakat
Umar bin Khatab juga melakukan pemerataan terhadap rakyatnya dan meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang diperjinakan hatinya (al-muallafatu qulubuhum).
4)      Lembaga Perpajakan
Ketika wilayah kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Persia, Irak dan Syria serta Mesir sudah barang tentu yang menjadi persoalan adalah pembiayaan, baik yang menyangkut biaya rutin pemerintah maupun biaya tentara yang terus berjuang menyebarkan Islam ke wilayah tetangga lainnya. Oleh karena itu, dalam kontek ini Ibnu Khadim mengatakan bahwa institusi perpajakan merupakan kebutuhan bagi kekuasaan raja yang mengatur pemasukan dan pengeluaran.[12]
b)      Perkembangan Pengetahuan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, sahabat-sahabat yang sangat berpengaruh tidak diperbolehkan untuk keluar daerah kecuali atas izin dari khalifah dan dalam waktu yang terbatas. Jadi kalau ada diantaa umat Islam yang ingin belajar hadis harus perdi ke Madinah, ini berarti bahwa penyebaran ilmu dan pengetahuan para sahabat dan tempat pendidikan adalah terpusat di Madinah. Dengan meluasnya wilayah Islam sampai keluar jazirah Arab, nampaknya khalifah memikirkan pendidikan Islam didaerah-daerah yang baru ditaklukkan itu. Untuk itu Umar bin Khatab memerintahkan para panglima perangnya, apabila mereka berhasil menguasai satu kota, hendaknya mereka mendirikan Mesjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan.
Berkaitan dengan masalah pendidikan ini, khalifah Umar bin Khatab merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di mesjid-mesjid dan pasar-pasar serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukkan itu, mereka bertugas mengajarkan isi al-Qur'an dan ajaran Islam lainnya seperti fiqh kepada penduduk yang baru masuk Islam.
Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam bertambah besar, karena mereka yang baru menganut agama Islam ingin menimba ilmu keagamaan dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi. Pada masa ini telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah-daerah yang jauh dari Madinah, sebagai pusat agama Islam. Gairah menuntut ilmu agama Islam ini yang kemudian mendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin keagamaan.
Dengan demikian  pelaksanaan pendidikan dimasa khalifah umar bin khatab lebih maju, sebab selama Umar memerintah Negara berada dalam keadaan stabil dan aman, ini disebabkan, disamping telah ditetapkannya mesjid sebagai pusat pendidikan, juga telah terbentuknya pusat-pusat pendidikan Islam diberbagai kota dengan materi yang dikembangkan, baik dari segi ilmu bahasa, menulis dan pokok ilmu-ilmu lainnya.[13]
Perkembangan Sosial
Pada masa Khalifah Umar ibn Khatthab ahli al-dzimmah yaitu penduduk yang memeluk agama selain Islam dan berdiam diwilayah kekuasaan Islam. Al-dzimmah terdiri dari pemeluk Yahudi, Nasrani dan Majusi. Mereka mendapat perhatian, pelayanan serta perlindungan pada masa Umar. Dengan membuat perjanjian, yang antara lain berbunyi ;
“Keharusan orang-orang Nasrani menyiapkan akomodasi dan konsumsi bagi para tentara Muslim yang memasuki kota mereka, selama tiga hari berturut-turut.”
Pada masa umar sangat memerhatikan keadaan sekitarnya, seperti kaum fakir, miskin dan anak yatim piatu, juga mendapat perhatian yang besar dari Umar ibn Khathab.
c)      Perkembangan Agama
Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan)  pertama terjadi ; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Dalam kata lain. Islam pada zaman Umar semakin berkembang.
Jadi dapat disimpulkan, keadaan agama Islam pada masa Umar bin Khatthab sudah mulai kondusif, dikarenakan karena kepemimpinannya yang loyal, adil, dan bijaksana. Pada masa ini Islam mulai merambah ke dunia luar, yaitu dengan menaklukan negara-negara yang kuat, agar islam dapat tersebar kepenjuru dunia.

C.       Pembentukan Khilafah
Kata خليفة  (khalifah), menurut Luis Ma’luf Yasu’i dalam Kamus Al-Munjid biasa diterjemahkan dengan pengganti dalam al-Quran terdapat dua kata خليفة, dan tiga kata خلفاء, tapi tidak satu pun tertuju kepada Muhammad SAW atau khalifahnya. Yang dimaksud dengan kata خليفة  dalam al-Quran surat 2 (al-Baqarah): 30.[14]
وَاِذْقَاَلَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِاِنّيِ جَاعِلٌ فِيْ اْلاَرْضِ خَلِيْفَةً
Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat : “ Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi”
Kata khalifah dalam surat 38(Shad):26, “Hai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, “jelas tertuju kepada Nabi Daud.[15]
Khilafah merupakan bentuk pemerintahan sepeninggal Nabi Muhammad. Ada empat khalifah (pemimpin) di saat itu yang terkenal dengan kedekatannya dengan Nabi Muhammad semasa hidupnya. Ketika Nabi wafat maka terjadilah kekalutan dalam penentuan siapakah yang akan menjadi pemimpin umat yang akan menggantikan Nabi. Ada kalangan yang mengatakan bahwa kelompok kesukuan harus memilih imam-nya sendiri. Sahabat Nabi, Abu Bakar dan Umar bin Khattab berpendapat bahwa ummah adalah masyarakat yang bersatu dan dipimpin oleh seoragn pemimpin tunggal, sebagaimana pada masa Nabi. Di Arabia, adalah suatu yang sakral, sehingga ada anggapan bahwa kualitas khusus seorang pemimpin diturunkan pada keturunanya, oleh karena itu sebagian kelompok beranggapan bahwa Nabi Muhammad mungkin menginginkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya dalam memimpin umat.[16]
1.        Pembentukan Khilafah pada Masa Abu Bakar ash-Shiddiq
Sepeninggal Nabi Muhammad sekelompok orang berpendapat bahwa Abu Bakar yang lebih berhak atas kekhalifahan, karena Rasulullah merelakannya dalam urusan-urusan agama dengan menyuruhnya mengimami shalat jamaah selama Nabi sakit. Kelompok yang lain berpendapat bahwa yang paling berhak atas kekhalifahan adalah ahlu-bait Rasulullah sendiri yang diwakili oleh Abdullah bin Abbas atau Ali bin Abi Thalib, selain itu masih ada kelompok yang mengatakan bahwa kekhalifahan paling pantas dipegang oleh golongan Quraisy termasuk di dalamnya adalah kaum Muhajirin awal. Kelompok lainya juga berpendapat bahwa yang berhak atas kekhalifahan adalah kaum Ansar.[17] Melihat perbedaan di atas ketika kaum Ansar menginginkan adanya pemimpin dari golongannya dan dari golongan Muhajirin, tatkala itu Umar mendatangi mereka dan berkata, ‘wahai kaum Ansar tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah telah memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat pada saat hidupnya. Lalu siapa di antara kalian yang merasa dirinya berhak untuk maju mendahului Abu Bakar?’ maka orang Ansar pun berkata, ‘kami berlindung kepada Allah untuk maju mendahului Abu Bakar.’[18]
Maka dari sinilah kemudian Umar membaiat Abu Bakar kemudian diikuti oleh orang-orang Muhajirin lalu kaum Ansar. Seketika itu Abu Bakar terpilih menjadi khalifah yang akan meneruskan perjuangan Nabi dalam memimpin negara dan kaum muslimin saaat itu.
Melihat peristiwa di atas, perselisihan pertama yang terjadi dalam tubuh umat Islam adalah perihal masalah kekhalifahan. Perselisihan ini terjadi di kediaman Rasulullan dan sebelum jenazahnya dimakamkan. Perselisihan kedua terjadi di  Saqifah Bani Sa’idah, yaitu tatkala kaum Ansar menuntut hak atas kekhalifahan. Perselisihan ini pun berakhir dengan di baiatnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, ia kemudian berpidato menjelaskan apa yang akan dilakukan dalam pemerintahannya. Berikut ini adalah isi pidato Abu Bakar:
“Wahai Manusia! Saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku, tapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi bilamana aku tiada menaati Allah dan Rasul-Nya kamu tak perlu menaatiku.”[19]

Pidato khalifah itu mengandung arti yang sangat penting, karena terbukti pemerintahannya penuh demokratis dan berdaulat. Walaupun dalam Islam kedaulatan itu mutlak berada di tangan Allah, namun dalam hal urusan dunia, khalifah sebagai penganti Nabi yang penuh berdaulat dan legitimasinya diperoleh dari pengakuan rakyat. Hal initerlihat dalam pidatonya, seorang khalifah itu baru berdaulat apabila dapat pengakuan dari rakyat. Setelah terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi berbagai tugas dan persoalan seperti mengirim kembali ekspedisi Usamah ke Syam yang telah ditugaskan Nabi untuk menghadapi Bizantium yang sekaligus juga membalas kematian ayahnya, Zaid di medan perang sebelumnya. Di sini, Abu Bakar bertindak seolah-olah menjalankan sunah Nabi karena Nabilah yang memilih Usamah sebagai panglima perang.[20]
Kekhalifahan Abu Bakar merupakan pemilihan yang berlangsung secara demokratis di Muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah, hal ini sebagaimana tata cara perundingan modern yang dikenal saat ini. Abu Bakar memenangkan pemilihan untuk menduduki jabatan khalifah setelah melalui perdebatan dan adu argumentasi dari berbagai golongan sampai hampir terjadi perpecahan bahkan adu fisik.

2.        Pembentukan Khilafah pada Masa Ummar bin Khattab
Menjelang wafat, Abu Bakar menunjuk Umar Ibn Khattab sebagai penggantinya. Umar dipilih sebagai khalifah berdasarkan persetujuan jamaah kaum muslimin dan kesepakatan pemuka masyarakat saat itu. Sebelum itu Abu bakar telah memilihnya, melihat situasi negara yang masih labil. Pilihan Abu Bakar ini berdasarkan pendapat dan persetujuan tokoh masyarakat yang diminta pandangannya ketika menjenguk dirinya yang sedang sakit, seketika itulah Abu Bakar menunjuk Umar untuk menjadi khalifah. Piagam penunjukan itu pun ditulis oleh Abu Bakar sebelum ia wafat.[21]
Rahman mengutip dari al-Tabari, Kitab al-Rasul wa al-Muluk sebagai berikut.
Dalam keadaan sakit (berbaring di tempat tidur), Abu Bakar menunjuk Umar Ibn Khattab sebagai penggantinya. Ada keberatan dari sahabat atas penunjukan tersebut. Akan tetapi, ia mengumumkan, bahwa dengan nama Allah, saya tidak meleset sedikitpun dan tidak berbuat kekurangan sedikitpun dalam menunjuk Umar sebagai pengganti. Oarang yang saya tunjuk, bukan dari keluargaku dan kalian mendengar kata-kata dan mematuhi perintah, maka rakyat yang hadir semua serentak menjawab kami dengar dan menerimanya.[22]

Dengan demikian, Abu Bakar menyelesaikan persoalan calon pengganti, supaya tidak muncul problem seperti ketika Nabi tinggalkan umat Islam dalam memilih pengganti timbul perselisihan yang nyaris Islam terbawa ke gerbang kehancuran. Pada periode Khalifah Umar (634-644 M), peta Islam meluas di Timur sampai perbatasan India dan sebagaian Asia Tengah serta wilayah kekuasaan Bizantium, Syam dan Mesir yang menjadi ancaman bagi negara Islam waktu itu. Di Barat sampai Afrika Utara. Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam dan perubahan – perubahan. Telah disebutkan, bahwa untuk kelancaran pemerintahan, Umar membentuk departemen-departemen dan membagi wilayah kekuasaannya dengan beberapa provinsi dikepalai seorang amir dan unit wilayah perpajakan (distrik) dipimpin oleh seorang amil. Disebutkan, bahwa Umar juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang baru yang tidak terdapat pada periode sebelumnya, misalnya demi keamanan, menjaga kualitas/mutu tentara Arab, produksi panen yang memadai, menghindari negara dari kerugian pajak 80%, keadilan, menghindari diskriminasi Arab dan Non Arab.[23]
Pada akhir kepemimpinannya, Umar dibunuh oleh Abu Lu’lu’ (orang persia). Hal ini dilatarbelakangi oleh pemecatan Umar pada Mughirah Ibn Syu’ba sebagai Gubernur Kufah. Karena Mughirah melakukan pembocoran rahasia negara dan pengkhianatan. Menjelang wafat Umar menugaskan kepada enam orang sahabat, yaitu Abdurrahman Ibn ‘Auf, Thlhah, Zubair, Ustman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Tholib, dan Sa’ad Ibn Waqas. Kelompok tersebut diketahui Abdurrahman ditambah satu lagi yaitu Abdullah Ibn Umar, namun ia tidak memiliki hak untuk dipilih menjadi khalifah. Alasannya membentuk tim tersebut, bahwa ia tidak sebaik Abu Bakar yang bisa menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Akan tetapi ia juga tidak bisa sebaik Nabi Muhammad untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka diambil jalan tengah yaitu dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah menentukan pengganti dirinya. Ketika ditanya para sahabat, mengapa Umar ambil jalan tengah? Tidk membiarkan atau menunjuk penggantinnya seperti Nabi membiarkan kepada rakyat sedangkan Abu Bakar menunjuk langsung penggantinnya?
Umar berkata sebagai berikut.[24]
....kalau aku mengangkat penggantiku, telah ada orang yanglebih baik dari yang memilih pengganti dan kalau aku biarkan menurut kehendak rakyat, maka telah ada pula orang yang lebih baik dari pada aku membiarkannya...

Setelah melakukan voting, pemungutan suara dalam tim tersebut, maka terpilihlah Usman Ibn Affan sebagai khalifah, pengganti Umar Ibn Khattab. Dalam sejarah Islam itulah panitia pemilihan khalifah pertama kali.
Demikianlah pembentukan khilafah dan sekaligus pengangkatan para khalifah yang terjadi pada masa setelah Rasulullah. Hal ini terjadi karena Nabi tidak menunjuk dan berwasiat tentang siapa yang akan menjadi penggantinya setelah wafat. Meskipun demikian, para sahabat khususnya empat sahabat yang tergolong khulafaur rasyidin ini telah mendapatkan prinsip-prinsip dalam menentukan dan memutuskan suatu perkara. Musyawarah merupakan prinsip yang ditanamkan Nabi kepada para sahabatnya, sehingga pemilihan setiap khalifah pada dasarnya menggunakan musyawarah namun dengan model yang berbeda-beda. 


D.    Sistem Ghanimah pada Masa Khilafah Al-Rasyidah I-II
1.      Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
Kebijakan yang dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan perekonomian, Abu Bakar membentuk lembaga "Baitul Mal", semacam kas negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi SAW yang digelari "amin al-ummah" (kepercayaan umat).[25]
Kebijakan lain yang ditempuh Abu Bakar yaitu membagi sama rata hasil rampasan perang (ghanimah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama.[26]
Selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan pendapatan nasional, di samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin. Dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat.

2.      Kahlifah Umar Bin Khattab
Untuk Kesejahteraan rakyat, Umar tidak pernah mengesampingkan, ia sangat memperhatikan bagaiman taraf kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Ia memberikan tunjangan kepada rakyat sesuai klasifikasi berdasarkan nasab kepada Nabi Muhammad Saw. (termasuk di dalamnya istri beliau), senioritas dalam memeluk agama Islam, jsa dalam perkembangan dakwah islam dan perjuangan mereka dalam menegakkan agama islam jumlah tunjangan masing-masing berbeda berdasarkan urutan klasifikasi di atas. Hal ini disebabkan kepiawaiyan umar dalam mengatur harta kekayaan negara yang berasal dari  jizyah dan Ghonimah sebaik mungkin, disamping para pembantu dibelakangnya yang selalu setia dan memegang teguh amanat yang telah dibebankan dipundaknya untuk dilaksanakan sebaik mungkin.[27]

E.     Sistem  Pertanahan pada Masa Khilafah Ar-Rasyidah I-II
1.      Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
Pada masa Rasulullah SAW dan abu bakar al shiddiq, jika suatu suku tertentu tidak menyerah secara damai tetepi melalui pertempuran maka tanah mereka di sita sebagai harta rampasan perang dan dibagikan kepada kaum muslimin.[28]

2.      Khalifah Umar bin Khattab
Khalifah Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga memperbaiki dan mengadakan perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang perlu direvisi dan dirubah. Umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem pertanahan, bahwa kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang.  Umar  mengubah peraturan  ini, tanah-tanah  itu  harus  tetap dalam  tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj). Umar juga meninjau  kembali  bagian-bagian  zakat  yang  diperuntukkan  kepada  orang-orang  yang dijinaki hatinya (al-muallafatu qulubuhum).[29]


F.     Perkembangan Islam sebagai Kekuatan Politik
Keempat khalifah tersebut tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan atau perundang-undangan ataupun lain-lainnya kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendekiawan di antara kaum muslimin.[30] Diriwayatkan dalam Sunan ad-Darimi bahwa Maimun bin Mahran menuturkan tentang perilaku Sayyidina Abu Bakar dalam hal ini, dan bahwasannya ia selalu, apabila terjadi suatu perkara, mencari hukumnya dalam kitab Allah. Bila ia tidak memperolehnya, ia mempelajari bagaimana Rasulullah SAW, bertindak di dalam perkara seperti ini. Dan bila ia tidak menemukan apa yang dicarinya, ia pun mengumpulkan tokoh-tokoh yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang telah diputuskan oleh mereka setelah pembahasan, diskusi dan penelitian, ia pun menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan.[31]
Permasalahan politik pertama yang muncul sepeninggal Rasulullah adalah siapakah yang akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan dan bagaimana sistem pemerintahannya. Demikian kaum muslimin dutuntut untuk menyelesaikan masalah tersebut sendiri. Rasulullah telah mengajarkan satu prinsip, yaitu musyawarah. Prinsip ini dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada setiap pergantian empat pemimpin pada periode khulafaur rasyidin, meski dengan model yang berbeda.

1.      Abu Bakar (11-13 H)
Abu Bakar as-Shiddiq, dalam salah satu khutbahnya yang pertama setelah dibai’at, berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin atas kamu sekalian, sedangkan aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Maka bila aku berbuat baik, bantulah aku, dan bila aku berbuat buruk, luruskanlah aku. Ketulusan adalah amanat dan kebohongan adalah khianat. Orang yang lemah di antara kamu akan aku anggap sebagai orang yang kuat sampai aku memperoleh kembali baginya haknya, insya Allah, dan orang yang kuat di antara kamu adalah seorang yang lemah menurut anggapanku sampai aku berhasil mengambil hak itu dari padanya, insya Allah.
Perkembangan Islam dengan kemenangan yang dicapai di seluruh Tanah Arab. Ketika itu pula bangsa Romawi dan Persia tak henti-hentinya melakukan tipu daya untuk menghancurkan Islam. Berawal dari masa Rasulullah yang telah menyiapkan pasukan besar untuk menandingi kekuatan Persia dan Romawi. Tatkala Rasulullah wafat, tentara itu belum sempat berangkat ke tempat yang dituju, karena tertahan oleh wafatnya Rasulullah. Maka ketika Abu Bakar meneruskan niat Rasulullah ini dengan mengirimkan pasukan tersebut. Pemberangkatan pasukan ini, lebih dititik-beratkan pada segi politis, bukan karena kepentingan pertahanan. Karena saat itu pula terjadi pemberontakan di Tanah Arab. Pengiriman pasukan terus dilakukan oleh Abu Bakar supaya terkesan bahwa kaum muslimin memiliki kekuatan yang besar. Pengiriman yang dilancarkan Abu Bakar ini dinilai berhasil karena dapat menimbulkan ketakutan bagi bangsa Romawi dan pemberontakan bangsa Arab.[32]
Sistem pemerintahan yang diberlakukan oleh Abu Bakar adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, yakni bersifat sentral dengan memusatnya kekuasaan eksekutif,[33] legislatif,[34] dan yudikatif[35] pada satu tangan.[36] Dari sini terlihat akan betapa Abu Bakar memang benar-benar melakukan apa yang dilakukan Rasulullah.


2.      Umar  Bin Khattab (13-23 H)
Pemerintahan Umar berbeda dengan Abu Bakar. Lembaga yudikatif telah berdiri sendiri, terpisah dengan eksekutif dan legislatif dengan didirikannya lembaga pengadilan bahkan sampai ke daerah-daerah. Umar melakukan perubahan-perubahan dalam pemerintahannya tanpa melihat sebelumnya. Umar lebih mengadopsi model Persia dengan membentuk departemen-departemen (diwan) yang memiliki tugas menyampaikan perintah dari pemerintah pusat ke berbagai daerah dan melaporkan tindakan-tindakan penguasa daerah kepada khalifah. Ketika Umar memerintah, wilayah dibagi menjadi delapan provinsi: Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Di setiap provinsi dibentuk jawatan kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban dan juga didirikan jawatan-jawatan umum. Saat itu pula mulai diatur dan diterbitkan pembayaran gaji dan  pajak tanah. Ketika itu juga didirikan Baitul Mal yang berfungsi sebagai lembaga pengelolaan keuangan negara.[37] Di masa Umar diberlakukan sistem provinsi dengan dikepalai oleh seorang Amir (gubernur) yang diberi keluasan untuk mengatur daerahnya secara mandiri. Pemilihan pejabat sering dilakukan oleh rakyat sendiri. Tidak ada hak istimewa dalam pemerintahan Umar sehingga rakyat dan penguasa tidak ada bedanya, sehingga rakyat bisa menemui para penguasa dengan mudah kapan pun.
Telah berkata Umar r.a. dalam salah satu pidatonya:”Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada suatu hak bagi siapa pun untuk ditaati dalam suatu perbuatan maksiat. Kamu sekalian memiliki beberapa hak atas diriku yang akan kujalani dan akan kupegang teguh. Aku berjanji tidak akan memungut suatu pajak atas hasil karunia yang kamu peroleh dari Allah kecuali dengan jalan yang sebenarnya, dan kamu sekalian berhak mencengah aku mengeluarkan sesuatu yang telah berada di tanganku kecuali dengan haknya.[38]

Umar merupakan sosok khalifah yang kuat, adil, dan berwibawa. Ia tidak tumbuh dari lingkungan orang-orang yang berperadaban tinggi namun dialah yang secara khusus meletakkan tatanan, politik, sosial, dan peradaban. Ekspansi yang dilakukan Umar pada masa kekhalifahannya sampai ke Persia dan meruntuhkan imperiunnya, ini merupakan jasa besar Umar bagi umat Islam. Demikian juga negeri Syam, Mesopotamia, Palestina, dan Mesir dibawah pimpinan Sa’ad.[39]Setelah berhasil merobohkan Persia dan melenyapkan kekuasaan mereka. Timbul dendam kepada Umar dari orang-orang lapisan atas bangsa Persia beserta pendukung-pendukungnya dan berniat untuk membunuhnya.[40]
Beberapa hal yang patut di apresiasi pada pemerintahan Umar adalah pada sistem sosial. Sistem pemberian yang dilakukan Umar merupakan hal yang baru. Sistem ini diberlakukan bagi mereka yang sakit, orang-orang yang lemah, lanjut usia, cacat dan tak sanggup lagi mencari nafkah. Demikian juga bagi mereka yang mengabdi kepada negara dan lembaga-lembaga sosial. Mereka ini diberikan tunjangan  yang berasal dari perbendaharaan negara. Sistem ini baru dijalankan sejak pemerintahan Umar, akan tetapi kebijaksanaan Umar ini terhenti tatkala Umar wafat. Kebijakan ini pada masa Usman sempat berjalan beberapa saat namun pada akhirnya rakyat memprotes Usman karena banyaknya pemberian yang diberikan Usman hanya kepada beberapa orang. Kemudian tuntutan ini pun dikabulkan oleh Usman dan pemberian terbatas hanya kepada tentara dan sahabat-sahabat Nabi saw.[41]










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Paparan di atas tentu memerlukan beberapa kesimpulan untuk dapat menangkap inti dari pembahasannya, oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa:
1.      Abu Bakar As-Shidiq adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang mempunyai nama lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Diberi julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk orang laki-laki  yang  masuk Islam pertama kali. Sedangkan  gelar As-Shidiq diperoleh  karena beliau senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj.
Sedangkan Umar bin Khattab merupakan satu diantara tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam. Ia terkenal dengan tekad dan kehendaknya yang sangat kuat, cekatan, dan karakternya yang berterus terang. Sebelum menjadi khalifah ia dikenal sebagai pribadi yang keras dan tidak mengenal kompromi dan bahkan kejam.
2.      Banyak proses-proses berat yang di hadapi Abu Bakar di awal pemerintahannya, adapun  beberapa kesulitan yang dihadapi oleh khalifah Abu Bakar misalnya adalah, banyak umat Muslim yang murtad atau keluar dari Islam akibat enggan membayar zakat, mereka menganggap membayar zakat hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup. Adapun  pemurtadan yang lain itu akibat timbul banyak nabi-nabi palsu, dan disitulah banyak umat muslim yang ikut ajaran nabi palsu tersebut.
Sedangkan selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
3.      Terbentuknya khilafah dimulai ketika Nabi wafat dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah (pemimpin) pertama.  Asas musyawarah merupakan landasan yang digunakan dalam setiap pergantian khalifah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi. Namun Nabi tidak menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin dan bagaimana tata cara pemilihan setelahnya.  Demikian juga pada pengangkatan khalifah lainnya, semuanya didahului oleh perselisihan dan pada akhirnya terpilihnya mereka yang terpilih setelah melalui musyawarah dengan model yang berbeda-beda.
4.      Kebijakan lain yang ditempuh Abu Bakar yaitu membagi sama rata hasil rampasan perang (ghanimah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama.
5.      Pada masa Rasulullah SAW dan abu bakar al shiddiq, jika suatu suku tertentu tidak menyerah secara damai tetepi melalui pertempuran maka tanah mereka di sita sebagai harta rampasan perang dan dibagikan kepada kaum muslimin. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab beberapa peraturan telah diubah, umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem pertanahan, bahwa kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang.  Umar  mengubah peraturan  ini, tanah-tanah  itu  harus  tetap dalam  tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj).
6.      Pemerintahan Umar berbeda dengan Abu Bakar. Lembaga yudikatif telah berdiri sendiri, terpisah dengan eksekutif dan legislatif dengan didirikannya lembaga pengadilan bahkan sampai ke daerah-daerah. Umar melakukan perubahan-perubahan dalam pemerintahannya tanpa melihat sebelumnya. Umar lebih mengadopsi model Persia dengan membentuk departemen-departemen (diwan) yang memiliki tugas menyampaikan perintah dari pemerintah pusat ke berbagai daerah dan melaporkan tindakan-tindakan penguasa daerah kepada khalifah.
Sedangkan sistem pemerintahan yang diberlakukan oleh Abu Bakar adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, yakni bersifat sentral dengan memusatnya kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada satu tangan. Dari sini terlihat akan betapa Abu Bakar memang benar-benar melakukan apa yang dilakukan Rasulullah.






















DAFTAR PUSTAKA

Al-Maududi , A’la Abul. 2007. Khilafah dan kerajaan. Bandung: Mizan Media Utama
Amin, Ahmad. 1991. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Amstrong, Karen. 2002. Islam; Sejarah Singkat.  Yogyakarta: Penerbit Jendela
As-Suyuthi, Imam. 2005. Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam.  terj. Samson rahman. Jakarta: Pustaka Al-kautsar
Fachruddin, Fuad. 1995. Perkembangan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, hal. 77.
Hasyim, Muhammad. 2006. Sistem Politik Di Masa Rasululloh Dan Khulafaur Rasyidin Di Tinjau Dari Sistem Demokrasi. Skripsi. STAI Al-Qolam.
Husain, Taha. 1986. Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam Abu Bakar dan Umar. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Maryam, Siti. Dkk. (editor).2009. Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: LESFI
Masdir, firdaus. 2001. Sejarah Peradaban Islam Jilid 1. Padang : IAIN IB press.
Osman, Latif A. 1992. Ringkasan Sejarah Islam.Jakarta: Penerbit Widjaya
Rasjid, Sulaiman. 1990. Fiqih Islam. Bandung: Sinar BaruSyalabi, A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna
Setiawan, Arif.2002. Islam dimasa Umar bin Khatthab. Jakarta : Hijri Pustaka.
Sulasman dan Suparman. 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa . Bandung: Pustaka Setia.



[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.77
[2]Karen Amstrong, Islam; Sejarah Singkat,  (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), hal. 34-35
[3] Al-Maududi , A’la Abul. 2007. Khilafah dan kerajaan. Bandung: Mizan Media Utama

[4] Ibid, hal 32
[5] Ibid, hlm. 64.
[6] Ibid, hlm. 98.
[7] Ibid, hal 46
[8] Sulasman dan Suparman. 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa . Bandung: Pustaka Setia.
[9] Arif, Setiawan, 2002. Islam dimasa Umar bin Khatthab. Jakarta : Hijri Pustaka.
[10] Ibid, hal 4
[11] Ibid, hal 42
[12] Muhammad Husein Haikal, 2002. Umar bin Khatthab, sebuah telaah mendalam tentang pertumbuhan islam dan kedaulatannya dimasa itu, Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa. Hal 45
[13] Ibid, hal. 16
[14] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan kerajaan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), hal. 58-59
[15] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.77
[16]Ibid., hal. 34-35
[17]Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 80
[18]Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam, terj. Samson rahman, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2005), hal. 74
[19]A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), hal. 227
[20]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.82
[21]Ibid., hal.. 238
[22]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.84
[23]Ibid., hal.. 88
[24]Ibid., hal.. 88
[25] Moh Fachruddin Fuad, Op. Cit.hal. 36.
[26] Ibid, hal 38
[27] Muhammad Hasyim, Op.Cit.Hal.44
[28] op.cit, Firdaus, hal 4 dan 40
[29] OP.,Cit. Syuaib.hal.263-264
[30]Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan kerajaan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), hal. 107
[31]Ibid., hal.. 107
[32]A. Syalabi, Op. Cit., hal. 239
[33]ek·se·ku·tif /éksekutif/ 1a berkenaan dng pengurusan (pengelolaan, pemerintahan) atau penyelenggaraan sesuatu; 2n Huk kekuasaan menjalankan undang-undang; 3n Man pejabat tingkat tinggi yg bertanggung jawab kpd direktur utama atau pemimpin tertinggi dl perusahaan atau organisasi
[34]le·gis·la·tif /législatif/ a berwenang membuat undang-undang; badan -- , dewan yg berwenang membuat undang-undang
[35]yu·di·ka·tifa1 bersangkutan dng fungsi dan pelaksanaan lembaga peradilan; 2 bersangkutan dng badan yg bertugas mengadili perkara
[36]Siti Maryam dkk (editor), Op. Cit., hal.49
[37]Siti Maryam dkk (editor), Op. Cit., hal. 48
[38]Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan kerajaan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), hal. 112
[39]Ahmad Amin, Op. Cit., hal. 86
[40]A. Syalabi, Op. Cit., hal. 264
[41]Taha Husain, Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam Abu Bakar dan Umar, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1986), hal. 188-189

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Sejarah Al-Khulafa’ al-Rosyidin "

Post a Comment