Perhatian Filsafat Ilmu Terhadap Sains



Perhatian Filsafat Ilmu Terhadap Sains:
Observasi, Hipotesis, Induksi, Falsifikasi,
Teori dan Eksplansi
Taufiq A Simon (16710025)
A.    Pendahuluan
Filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan berusaha menjadikan dirinya jalan untuk mengepistemikkan ilmu. Filsafat setidaknya menjadi titik temu antara filosof dan saintis. Oleh karenanya filsafat pada mulanya berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dimana ilmu mungkin tidak akan pernah bisa menjawabnya.
Apakah memang benar ada pertanyaan diselesaikan hanya oleh argumen filosofis. Selain itu, jika tidak ada, ketika ilmu pengetahuan tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, pembahasan terkait yang demikian ini merupakan bahan perdebatan filosofis. Hal ini membuat filsafat tidak dapat dihindari bagi para ilmuwan.
Seperti yang dinyatakan oleh oleh Alex Rosenberg bahwa sains seperti yang kita kenal sekarang ini tampaknya telah dimulai pada zaman yunani kuno. Sejarah ilmu dari zaman yunani kuno sampai sekarang adalah sejarah ketika ilmu memisahkan diri dari filsafat kemudian muncul sebagai disiplin yang terpisah. Namun masing-masing disiplin ilmu yang sudah terpisah dengan filsafat itu telah meninggalkan sederet permasalahan distingsi bagi filsafat seperti halnya masalah yang ilmu tidak bisa selesaikan, tapi filsafat harus berurusan dengan permasalahan ilmu baik secara permanen ataupun temporer. Seperti contoh, ilmu matematika berurusan dengan angka, tapi matematka tidak bisa menjawab pertanyaan apakah angka itu. Ketika kita bertanya apakah angka itu, jawaban kita bukan mengarah pada simbol, tapi malah pada benda yaitu sebuah inkripsi dengan ada sedikit coretan. Yang demikian ini memberikan gambaran bahwa filsafat hubungannya dengan ilmu menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu dan pertanyaan mengapa ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut[1].
Filsafat ilmu tidak hanya menelisik struktur fundamental yang menjadi pijakan ilmu pengetahuan namun juga berupaya mengkaji sejauh mana nilai signifikansi dan aktualitas berbagai ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia secara kontekstual. Melihat hal yang demikian itu, filsafat ilmu memiliki fungsi kritis-konstruktif terhadap sains. Filsafat ilmu tidak hanya membawa kita menelusuri esensi ilmu pengetahuan dengan segala atributnya, melainkan juga membawa kita melihat berbagai kelemahan dan kekurangannya untuk kemudian melakukan tawaran konstruktif demi perkembangan ilmu pengetahuan.
Oleh karenanya, filsafat ilmu menjadi semacam alat atau metode yang dapat digunakan oleh para ilmuwan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan. Tidaklah mengagetkan bila hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan menggunakan filsafat ilmu sebagai mitra dialog yang kritis untuk mencairkan berbagai bentuk kebekuan ilmiah.
Kerangka berfikir yang ditawarkan filsafat demi meniscayakan sebuah kebenaran atau sampai kepada predikat ilmiah memiliki sejarah yang tidak sederhana. Perlu kajian kritis terkait apakah metode tersebut applicable dan sah secara substansi dan mungkin simbolik dalam merumuskan kebenaran.
Dalam makalah ini akan dibahas terkait bagaimana filsafat ilmu kemudian menskema sebuah kebenaran diikuti dengan perjalanan sebuah istilah yang mengalami kritik dan rekonstruk pada masing-masing filosof pada zamannya untuk kemudian bisa dijadikan pijakan untuk generasi sesudahnya dan bagi kita bisa dijadikan sebagai pelajaran dan pemahaman yang mendalam terkait kajian filsafat ilmu ini.
Hal yang demikian itulah yang mendasari pemakalah untuk mendiskusikan lebih jauh terkait Perhatian Filsafat Ilmu Terhadap Science: Observasi, Hipotesis, Induksi, Falsifikasi,Teori dan Eksplansi.

B.     Observasi
Menurut Louis O. Kattsoff menerangkan bahwa observasi merupakan suatu pernyataan yang maknanya dapat diuji dengan penglaman yang dapat diulangi baik oleh orang yang mempergunakan pernyataan tersebut maupun oleh orang lain,pada perinsipnya dapat dilakukan verifikasi terhadapnya[2].  Sementara dalam Stathis Psillos menjelaskan bahwa istilah dan predikat seperti 'meja', 'pointer', 'merah', 'persegi', 'lebih berat dari' disebut sebagai observasional karena mereka mendapatkan maknanya langsung dari pengalaman: kondisi dengan segala fakta yang melibatkannya diverifikasi dalam pengalaman berdasarkan pada kondisi yang sebenarnya. Hal tersebut berbeda dengan istilah teoritis yang seharusnya mendapatkan maknanya melalui teori. Banyak empiris mengambil istilah teoritis menjadi semantis yang bertujuan untuk menjelaskan maknanya atas dasar makna yang observasional. Perbedaan yang jauh antara kedua jenis istilah ditantang pada 1960-an ketika tesis bahwa semua observasi adalah theory-laden (mengandung banyak teori) menjadi populer karena banyak filsuf dianut holisme semantik (Pandangan bahwa semua hal (atau konsep) memperoleh maknanya dari teori dan jaringan dari  pernyataan nomologi)[3].
Observasi sebagai teori laden adalah pandangan bahwa semua observasi tergantung pada teori. Hal ini kembali pada pemikiran Duhem bahwa pengamatan dalam ilmu bukan hanya tindakan melaporkan fenomena, namun juga adalah penafsiran fenomena dalam terang beberapa teori dan latar belakang keyakinan yang melatarbelakanginya. Untuk Duhem, interpretasi teoritis yang selalu menelusup kedalam pengamatan embeds (deskripsi) fenomena yang diamati ke dalam bahasa abstrak, ideal dan simbolik sebuah teori. Ini berarti bahwa teori-teori yang berbeda akan memberikan interpretasi yang berbeda pada beberapa fenomena[4].
Oleh karena itu, tegasnya, fenomena yang diamati tidak sama jika diinformasikan oleh teori yang berbeda. Saran Duhem adalah bahwa situasi ini tidak bermasalah sejauh ada beberapa latar belakang keyakinan umum yang diterima bahwa pendukung teori yang bersaing dapat mengajukan banding ke dalam interpretasi pengamatan. Ketertarikan dalam Observasi merupakan teori-laden muncul kembali pada tahun 1960, kali ini menggambar pada massa bukti empiris yang berasal dari psikologi yang menyatakan bahwa pengalaman persepsi secara teoritis bisa ditafsirkan.
Dalam kasus bebek-kelinci yang terkenal, misalnya, seseorang tidak hanya mengamati bentuk terdiri dari garis lengkung tertentu. Satu melihat kelinci atau bebek. Tidak ada pengalaman persepsi yang murni, meskipun interpretasi teoritis adalah, sebagian besar, terjadi dalam keadaan tidak sadar. Hanson, Kuhn dan Feyerabend mendorong teori-ladenness-of-observasi tesis ekstrem yang, dengan menyatakan bahwa setiap teori (atau paradigma) menciptakan pengalaman sendiri; menentukan arti semua istilah yang terjadi di dalamnya dan tidak ada bahasa yang netral yang dapat digunakan untuk menilai teori yang berbeda (atau paradigma). Hal ini melahirkan isu-isu incommensurability (ketidakterbandingan) artinya dua teori yang berbeda tidak bisa diukur dengan standar yang sama. Ia menolak bahwa pengamatan adalah standar yang bisa dipakai untuk melihat apakah sebuah teori terbukti atau tidak. Benar tidaknya sebuah pengamatan ditentukan oleh kerangka teorinya. Contoh yang bisa kita pakai misalnya adalah konsep “panjang” dalam fisika Newtonian dan fisika relativistik. Dalam fisika Newtonian, “panjang” adalah sebuah entitas yang independen terhadap kecepatan benda, kecepatan pengamat dan medan gravitasi, namun dalam fisika relativistik “panjang” tidaklah independen terhadap kecepatan benda, kecepatan pengamat dan medan gravitasi.[5] Dengan kata lain “panjang” dalam fisika Newtonian adalah mutlak, sedangkan dalam fisika relativistik adalah relatif.
Feyerabend lalu melakukan serangan melalui bukunya Against Method. Seperti yang diungkapkan dengan judulnya, Feyerabend melawan positivisme yang mengatakan bahwa kebenaran hanya bisa dicapai melalui metode ilmiah. Positivisme di dalam ilmu pengetahuan mengatakan bahwa kebenaran hanya bisa dicapai melalui pengamatan. Pengamatan menurut penganut positivisme adalah sesuatu yang betul-betul bebas nilai dan oleh karena itu objektif. Feyerabend menolak klaim ini. Ia berpendapat bahwa pengamatan tidaklah bebas nilai, melainkan terkandung di dalamnya metode yang dipakai (theory laden).[6] Dengan kata lain, metodologi yang berbeda akan menghasilkan pengamatan yang berbeda, oleh sebab itu pengamatan sama sekali tidak objektif.
Seperti halnya Kuhn, Feyerabend justru melihat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, atau bahasa Kuhn perubahan paradigma, justru terjadi disaat metodologi ilmu pengetahuan dilanggar. Contohnya adalah pada kasus Galileo. Pembelaannya pada heliosentrisme justru dilakukan dengan melanggar standar ilmu pengetahuan Aristotelian yang berlaku pada waktu itu.
Ini bisa terjadi karena realitas sesungguhnya jauh lebih kaya daripada apa yang bisa dijangkau oleh metode ilmiah, secanggih apa pun metode ilmiah tersebut. Karena itulah Feyerabend mengambil jalan anarkistik untuk mencapai kebenaran di dalam ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain “anything goes”.Inilah yang membuat ia dipandang sebagai seorang anarkis ilmu pengetahuan.

C.    Hipotesis
Fakta tidak berbicara untuk diri mereka sendiri. Dalam dunia yang ditelaah ilmu, sekelompok molekul atau sel tidak meloncat-loncat, melambaikan tangan, bersuit-suit, dan mengatakan “hai, lihat saya! Disini! Saya adalah batu atau pohon atau kuda”. Apanya suatu benda tergantung pada merek yang diberikan manusia kepada benda tersebut. Bagaimana suatu benda dapat dijelaskan tergantung kepada hubungan konseptual yang dipakai menyorot benda tersebut. Kenyataan ini membawa kita pada salah satu segi yang paling sulit dari metodologi keilmuan yakni peranan dari hipotesis.
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan antar variabel. Hubungan hipotesis ini diajukan dalam bentuk dugaan kerja, atau teori, yang merupakan dasar dalam menjelaskan kemungkikan hubungan tersebut. Hipotesis diajukan secara khas dengan dasar coba-coba (trial and error). Hipotesis hanya merupakan dugaan yang beralasan atau mungkin merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang telah teruji kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada data yang baru. Dalam kedua hal diatas, hipotesis berfungsi untuk mengikat data sedemikian rupa, sehinga hubungan yang diduga dapat kita gambarkan, dan penjelasan yang mungkin dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis biasanya diajukan dalam bentuk pernyataan “jika X, maka Y”. Jika kulit manusia kekurangan pigmen,maka kulit itu mudah terbakar saat disinari matahari. Hipotesis ini memberikan penjelasan sementara paling tidak tentang beberapa hubungan pigmentasi dengan sinar matahari. Hipotesis ini juga mengungkapkan kepada kita syarat mana yang harus dipenuhi dan pengamatan apa yang diperlukan jikakita ingin menguji kebenaran dari dugaan kerja tersebut.
Oleh karena itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah sementara. Sekiranya kita menghadapi suatu masalah tersebut,kita dapat mengajukan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan tersebut. Secara teoritis maka sebenarnya kita dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifa pluralistik. Hanya di sini dari sekian hipotesis yang diajukan itu hanya satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran keorespondensi yakni hipotesis yang didukung fakta-fakta empiris.[7]



D.    Induksi
Positivisme memberikan sumbangan yang besar bagi filsafat. Hal tersebut bukan tanpa alasan, pertama karena positivisme secara sistematis memisahkan dengan tegas antara ilmu pengetahuan, filsafat dan teologi. Seperti yang dinyatakan oleh Mikhael Dua bahwa jika filsafat dan teologi sibuk dengan persoalan dasar tentang manusia dan kosmos, sementara ilmu pengetahuan harus berhenti  saja pada data dan pengalaman sehingga dapat diobservasi dan diukur dalam eksperimen. Positivisme memiliki cara sendiri mengenai kebenaran. Fokus kebenaran ilmiah adalah data yang dapat diamati dan diukur. Sebaliknya kebenaran ilmiah tidak menyangkut segi-segi yang tidak teramati dan diukur[8].
Menurut positivisme, Ilmu pengetahuan hanya bisa bekerja dengan logika induksi. Logika deduksi sebagai pembeda dari induksi menyimpulkan sesuatu ditarik dari proposisi yang lebih luas. Contoh deduksi  yaitu jika kita mengatakan: “ semua  manusia mati”, kita boleh menyimpulkan bahwa Ali, manusia dari jambi, dapat mati. Hal ini berbeda dengan model induksi yang menurut Aristoteles dalam Mikhael Dua menyatakan bahwa induksi dilihat sebagai metode penyimpulan yang bertolak dari proposisi-proposisi khusus (partikular) atau bukti-bukti positif[9]. Aristoteles dalam Zaprulkhan menguraikan dengan jelas setidaknya dua macam induksi, yaitu  induksi sempurna dan dan induksi luas. Induksi sempurna berarti kesimpulan umum diambil dari pengetahuan tentang tiap contoh yang diteliti dan kesimpulan tersebut tidak melampaui evidensi, sementara induksi luas berarti kesimpulan mengambil contoh-contoh sebagai sampel kelas dan memuat generalisasi dari sifat-sifat khas sampel itu ke sifat-sifatnya khas kelas[10]. Secara amat sederhana jika kita mengatakan bahwa besi dapat memuai pada temperatur X dan tembaga pada temperatur Y, dan perunggu pada temperatur Z, dan kita tahu bahwa besi, tembaga, dan perunggu termasuk kelas logam,maka kita boleh menyimpulkan bahwa semua logam dapat memuai jika dipanaskan[11].
Dalam ilmu pengetahuan induksi dipakai untuk dua tahap metodologi ilmiah yang berbeda, yaitu: (1) digunakan untuk merumuskan hipotesis dan (2) digunakan sebagai metode untuk membuktikan kebenaran suatu hipotesis ilmiah[12]. Dalam hal pertama, para pendukung induksi selalu menegaskan bahwa sebuah hipotesis harus didasarkan pada generalisasi yang bertolak dari sejumlah besar pengamatan. Seperti yang dilakukan Bertrand Russell dalam melakukan induksi seperti pernyataan-pernyataan berikut: jika sejumlah A diamati, dan dalam setiap A terkandung sifat B,maka semua A mengandung sifat B. Atau mencoba mengadopsi contoh yang telah dijelaskan tadi,jika kita tahu bahwa besi apabila dipanaskan itu memuai karena ada perubahan pada molekul besi,dan begitu juga terjadi pada jennis logam yang lain,maka kita boleh mengatakan bahwa pemuaian logam disebabkan karena perubahan yang terjadi pada molekul logam. Induksi dalam hal ini dapat disebut sebagai klasifikasi atau generalisasi.
Lebih jauh Mikhael Dua mengungkapkan bahwa induksi juga bisa dilihat sebagai suatu metode verifikasi. Seperti reduksi yang dilakukan Aristoteles dimana seorang ilmuwan diajak untuk melihat apakah remalan yang terkandung dalam hipotesis yang berisi proposisi ilmiah benar-benar terjadi. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah suatu hipotesis  dekat dengan fakta. Inilah yang merupakan induksi yang bertahap sebagai pengujian terhadap hipotesis ilmiah. Dalam proses tersebut semakin banyak implikasi empiris sebuah hipotesis,semakin banyak pula hipotesis tersebut diuji, dan karena itu, semakin besar pula hipotesis tersebut diterima.
Metode induksi versi aristoteles inilah yang dinamakan induksi tradisional atau dikenal dengan nama induction by simple enumeration (induksi melalui penjumlahan sederhana) dan tidak dapat diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar[13].
Francis Bacon dalam Zaprulkhan berhasil menemukan metode induksi baru yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan cara mengamati alam semesta tanpa prasangka setelah itu menetapkan fakta-fakta berdasarkan percobaan-percobaan yang berkali-kali dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Jikalau fakta-fakta dengan cara demikian telah ditetapkan, fakta-fakta itu diikhtisarkan. Menurut Bacon, orang harus naik dari pengenalan fakta ke pengenalan hukum-hukumnya, seterusnya naik ke bentuk-bentuknya atau unsur-unsur tertentu dari sifat yang tunggal. Lebih lanjut Bacon memaparkan bahwa metode induksi ini adalah suatu metode atau suatu proses penyisihan atau pelenyapan, dengannya semua sifat yang tidak termasuk sifat yang tunggal ditiadakan. Tujuannya ialah untuk memiliki sesebgai sisanya sifat-sifat yang menonjol dalam fakta-fakta yang diamati. Seperti contoh: Bacon ingin menemukan sifat panas. Ia mengandaikan panas sebagai terdiri dari gerakan-gerakan cepat yang tidak teratur dari bagian-bagian kecil benda-benda. Supaya sifat panas dapat ditemukan, ia membuat daftar-daftar benda-benda panas dan benda-benda dingi, dan juga benda-benda yang mempunyai tingkatan panas yang bermacam-macam. Ia berharap bahwa daftar-daftar ini akan menampakkan beberapa corak watak panas yang senantiasa berada dalam di dalam benda-benda panas dan yang senantiasa tidak berada di dalam benda-benda dingin begitu juga dengan corak watak panas yang berada pada benda-benda yang panasnya bermacam-macam. Dengan metode seperti ini diharapkan menemukan hukum-hukum yang umum, yang (setelah pengujian dengan variasi keadaan yang baru) dapat naik dari hukum yang rendah tingkatannya menuju ke hukum yang tertinggi. Suatu hukum disarankan harus diuji dengan diterapkan pada keadan-keadaan baru, jika hukum tersebut bekerja, maka hukum tersebut  ditetapkan. 
Seorang filsuf yang merasakan kesulitan akan masalah induksi adalah David Hume. Ia menekankan sejumlah fakta –betapapun besar jumlahnya- secara logis tidak pernah bisa disimpulkan suatu kebenaran umum.[14]
Popper sendiri melihat argumentasi positivisme tentang induksi tersebut tidak dapat dipertahankan dari sudut logika. Sebaliknya,dengan mengakui pengalaman sebagai sumber pengetahuan,dimana apa yang di rasa, dilihat, didengar itu ditampung dan ditarik kesimpulan yang lebih umum, tesis positivisme ini hanya berhasil menunjukkan induksi sebaagai proses psikologis. Induksi dalam pengertian ini dilihat sebagai kemampuan seorang ilmuwan untuk melihat makna generalitas berdasarkan data-data yang ada. Tetapi makna generalitas atau konsep apapun tidak dapat ditarik secara logis dari data-data. Begitu juga sebagai pembuktian. Dalam hal ini induksi tidak dapat dilihat sebagai metode untuk membuktikan kebenaran sebuah hipotesis yang de fakto lebih luas dari data-data itu sendiri.
Hume dan Gestalt menegaskan pemikiran ini. Hume menyatakan bahwa sebuah ide hanya dapat dikembangkan melalui imajinasi dan asosiasi. Begitu juga gestalt yang berhasil menunjukkan bahwa seluruh pengetahuan rasional merupakan hasil dari imajinasi kreatif. Bahkan konsep-konsep umum yang bersifat rasional, seperti kausalitas tidak dapat dikenal selain karena kebiasaan. Dengan perkataan lain,psikologi merupakan faktor penting yang menyetir munculnya gagasan hipotesis.
Apa yang dikemukakan Hume dan psikologi Gestalt tersebut menjelaskan bahwa induksi bukan sebuah metode yang tepat dalam ilmu pengetahuan.karena sebuah ide tidak dapat ditarik dari pengalaman atau data secara logis[15].

E.     Falsifikasi
Terkait problem induksi, Karl Popper mengakui ketepatan Hume bahwa metode induksi tidak dapat dijustifikasi secara logis. Berdasarkan ketidakpuasan tersebut, Popper melakukan kritik fundamental terhadap metode indukstif yang dia formulasikan secara filosofis-empiris. Popper telah berhasil menyodorkan suatu pencerahan bagi masalah induksi dan dengan itu serentak juga ia mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu pengetahuan. Menurutnya suatu teori bersifat ilmiah tidak karena sudah dibuktikan melainkan, karena dapat diuji. Ucapan seperti “semua logam  akan memuai jika dipanaskan” dapat dianggap ilmiah kalau dapat diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menangkalnya. Seandainya kita dapat menunjukkan satu jenis logam yang tidak memuai apabila dipanasakan, maka ucapan tersebut tidaklah benar dan harus diganti dengan ucapan lain yang lebih tepat. Apabila suatu teori setelah diuji tetap tahan, maka itu berarti bahwa kebenarannya diperkukuh. Semakin besar kemungkinan untuk menyangkalnya maka semakin kukuh pula kebenarannya. Secara singkat itulah yang disebut popper sebagai the thesis of refutability yaitu suatu ucapan atau hipotesis bersifat ilmiah kalau secaraprinsipal terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya atau dengan kata lain perlu adanya kemungkinan untuk mengkritik. Ilmuwan sejati tidak akan menakuti kritik. Tap sebaliknya, ia sangat mengharapkan kritik, sebab hanya melalui jalan kritikilmu pengetahuan dapat maju.[16]
Salah satu tesis kunci dalam pemikiran Popper adalah bahwa hukum-hukum di dalam teori ilmiah selalu melampaui data-dataeksperimental yang bersifat inderawi. Metode induksi di dalam ilmu pengetahuan berupaya menunjukkan bahwa dari data-data inderawi yang diperoleh, ilmuwan dapat sampai pada hukum-hukum yang bersifat pasti, dan tidak sekedar probabilitas. Kritikan Popper terkait masalh ini adalah semua sensasi inderawi yang datang pada seseorang selalu sudah melibatkan penafsiran inderawi yang datang pada orang tersebut, sehingga kemungkinan adanya perbedaan penafsiran sudah selalu terbuka. Penafsiran tersebut sangat bergantung pada pengandaian-pengandaian ilmuwan yang sedang melakukan penelitian. Maka dari itu kebenaran induksi tidak akan pernah mencapai pada tingkat absolut.
Yang esensial menurutnya ialah penemuan bukti-bukti baru yang mampu memfalsifikasi suatu pernyataan. Jika suatu pernyataan yang diklaim ilmiah tidak dapat difalsifikasi , isi dari pernyataan tersebut pastinya tidak memadai. Dengan demikian, ia berpendapat bahwa suatu teori ilmu pengetahuan yang memadai adalah teori yang bersifat konsisten, koheren serta selalu dapat difalsifikasi. Tidak ada teori ilmiah yang selalu dapat cocok serta logis dengan bukti-bukti yang ada. Dengan kata lain teori yang tidak dapat ditolak bukanlah teori ilmu pengetahuan.
Menurut Popper, pikiran manusia memiliki peran aktif di dalam membentuk pengetahuan, dan tidak hanya berperan pasif menerima data melalui pengalaman inderawi seperti yang diungkap oleh locke.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, hal ini berarti bahwa kemajuan selalu datang, ketika seseorang ilmuwan membuat rumusan hipotesisyang hendak melampaui apa-apa yang dapat diketahui melalui pengalaman.kemajuan tidak datang dari penambahan informasi baru untuk mengkonfirmasi teori baru yang sudah ada, melainkan secara spekulatif berupaya menjelajah ke informasi-informasi baru yang belum diketahui sebelumnya, sehingga teori yang ada dapat dimodifikasi sesuai dengan informasi-infromasi tersebut.
Seluruh teori yang dikembangkan Popper ini dirumuskan dengan pengandaian bahwa pikiran manusia mempunyai karakter tetap untuk selalu berupaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyibukkan dirinya. Konsekuensinya, tujuan utama dari ilmu pengetahuan adalah menghasilkan pernyataan-pernyataan yang memiliki informasi tinggi dan tidak bersifat mutlak,tetapi memiliki tingkat kebenaran tertentu yang masih terus dapat diperbaharui.
Pandangan yang bersifat simplistik tentang prosees falsifikasi adalah bahwa suatu teori langsung dianggap tidak memadai karena dapat langsung difalsifikasi. Pandangan yang cukup memadai tentang proses falsifikasi adalah bahwa suatu teori dianggap tidak memadai karena ada bukti baru yang bisamemfalsifikasi teori tersebut dan sudah ada teori alternatif yang menggantikannya.
Apabila sebuah eksperimen berhasil memfalsifikasi sebuah teori, ada dua kemungkinan disini, yakni ada sesuatu yang slah dalam eksperimen tersebut, atau ada faktor-faktor yang tidak dipertimbangkan didalam perumusan teori sebelumnya[17].

F.     Teori
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apapun juga teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai gejala  yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkan, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan dengan benar.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenrnya tujuan akhir dari setiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja seperti halnya fisika. Bila dalam fisika saja keadaanya sudah seperti ini dapat dibayangkan bagaimana situasi perkembangan penjelasan teoritis pada disiplin-disiplin keilmuan dalam dalam bidang sosial yang terdiri dari berbagai teori yang tergabung dalam disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk suatu perspektif teoritis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan postulat dan asumsi yang berbeda satu sama lain.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya merupakan pernuyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Pernyataan yang mencakup hubungan sebab akibat ini memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab. Secara mudah dapat kita katakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi. Sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa” yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah yang berbentuk teori dan hukum ini harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat universal. Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh dimana teori-teori yang memiliki tingkat keumuman yang lebih rendah disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat mengikat keseluruhan teori tersebut. Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep,maka makin “teoritis” konsep tersebut. Pengertian teoritis disini dikaitkan dengan gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud. Artinya makin teoritis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata.
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut dengan metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuan secara konsisten dan komulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan yang tidak. Secara sederhana berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu 1) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan. 2) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris maka tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.[18]

G.    Eksplanasi
Seperti yang diungkap oleh bird bahwa salah satu tugas pokok ilmu adalah memberikan eksplanasi. Problematika induksi menunjukkan pertanyaan dari prediksi seperti pertanyaan  apa yang akan terjadi dengan sesuatu yang sedang diobservasi tersebut. Namun science tidak hanya tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan apa yang akan terjadi tapi juga tertarik dengan pertanyaan mengapa hal yang demikian itu terjadi. Apabila dihadapkan pada sebuah epidemi dengan gejala baru kita mungkin menginginkan science untuk menjelaskan kepada kita tentang bagaimana epidemi tersebut berprogres, berapa banyak orang akan mengembangkan gejala tersebut, untuk berapa lama dan pada konsentrasi apa. Kita juga berharap bahwa science akan muncul dengan jawaban jawaban mengenai mengapa epidemi tersebut terjadi dan mengapa manusia menunjukkan gejala yang mereka inginkan. Meskipun berbeda, dua pertanyaan tersebut berhubungan. Satu cara memprediksi bagaimana sebuah epidemi itu berkembang itu dengan meneliti dan mempelajari tentang organisme yang menyebabkannya. Hal tersebut dilengkapi dengan penjelasan bahwa apa yang telah kita teliti mungkin bisa untuk memprediksi jawaban terkait apa yang akan kita teliti. Sebaliknya, jika ada banyak alternatif penjelasan yang memungkinkan, maka kita mungkin bisa mengungkap penjelasan yang sebenarnya dengan men cek apa yang sebenarnya terjadi terhadap prediksi-prediksi yang berbeda yang dibuat berdasarkan masing-masing eksplanasi yang bersaing[19].
Jenis eksplanasi itu beragam dan dapat diklasifikasikan. Demikian macam-macam eksplanasi sebagai berikut:
(A)  penjelasan kausal (jendela pecah karena dilemparkan batu)
(B)   penjelasan eko- (penjelasan dalam hal hukum alam) (kalium terlarut karena merupakan hukum alam bahwa kalium bereaksi dengan air untuk membentuk hidroksida larut);
(C)   penjelasan psikologis (Ia berada di kafe sepanjang hari dengan harapan bisa melihat wanita itu lagi);
(D)  Penjelasan psikoanalitik (tidak suka nya seseorang dengan tikus berasal dari represi ketakutan masa kecil terhadap ayahnya)
(E)   penjelasan "Darwin" (Cheetah dapat berjalan pada kecepatan tinggi karena keuntungan selektif untuk menangkap mangsa mereka);
(F)    penjelasan fungsional (Darah beredar dalam rangka untuk memasok berbagai bagian tubuh dengan oksigen dan nutrisi)

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, itu adalah pertanyaan filosofis yang menarik apakah ini benar-benar semua jenis yang berbeda dari eksplanasi, memang apakah mungkin ada satu eksplanasi yang mencakup segala macam penjelasan. Namun melihat dari perspektif ragam eksplanasi itu berdiri,memang satu sama lain memiliki perbedaan. Contohnya, penjelasan kausal tidak sama dengan penjelasan eko (penjelasan dalam hal hukum alam). Jika kedua jenis eksplanasi itu sama, maka akan ada hukum bahwa batu yang dilemparkan ke kaca selalu dapat memecahkan kaca itu. Namun kenyataannya tidak. Batu yang kecil (kerikil) apabila dilemparkan ke plastik kaca tebal maka kaca itu tidak akan pecah.
Bersama Paul Oppenheim, pada 1948 Hempel mengembangkan teori persis logis, yang dikenal sebagai Model Nomologis-Deduktif (Deductive-Nomological Model) atau Model Hukum yang Mencakup (Covering-Law Model) bagi eksplanasi[20].
Eksplanasi ilmiah dari sebuah fakta adalah deduksi dari sebuah pernyataan (disebut explanandum), yang menggambarkan fakta yang ingin kita jelaskan; premis-premis (disebut explanans), yaitu hukum-hukum ilmiah; dan kondisi-kondisi awal yang cocok. Agar eksplanasi bisa diterima, explanans itu harus benar.
Menurut model nomologis-deduktif, eksplanasi sebuah fakta dengan demikian direduksi menjadi hubungan logis antara pernyataan-pernyataan. Explanandum adalah konsekuensi dari explanans. Ini adalah metode yang umum dalam filsafat positivisme logis. Aspek-aspek pragmatis dari eksplanasi tidak dipertimbangkan.
Penjabaran lainnya adalah bahwa sebuah eksplanasi mensyaratkan adanya hukum-hukum ilmiah; fakta-fakta dijelaskan ketika mereka digolongkan di dalam hukum-hukum. Maka, pertanyaan pun muncul tentang hakikat suatu hukum ilmiah.
Menurut Hempel dan Oppenheim, sebuah teori fundamental dirumuskan sebagai pernyataan yang benar, di mana pembilang-pembilangnya (quantifiers) tidak dapat dicabut (sebagai contoh, sebuah teori fundamental tidaklah sama dengan sebuah pernyataan tanpa pembilang), dan tidak mengandung konstanta individual.
Setiap pernyataan yang digeneralisasikan (generalized statement), yang merupakan konsekuensi logis dari sebuah teori fundamental, adalah teori turunan (derived theory). Gagasan yang mendasari perumusan ini adalah bahwa sebuah teori ilmiah berurusan dengan properti umum, yang diekspresikan oleh pernyataan-pernyataan universal.
Rujukan terhadap kawasan ruang-waktu spesifik atau terhadap hal-hal individual tidaklah diizinkan. Misalnya, hukum Newton adalah benar untuk semua benda di setiap waktu dan setiap ruang. Namun, terdapat hukum-hukum (misalnya, hukum-hukum Kepler awal) yang sah (valid) di bawah kondisi terbatas dan merujuk ke obyek-obyek spesifik, seperti matahari dan planet-planetnya.
Karenanya, ada pembedaan antara sebuah teori fundamental, yang bersifat universal tanpa pembatasan, dengan sebuah teori turunan yang dapat mengandung rujukan terhadap obyek-obyek individual. Perlu dicatat, di sini dipersyaratkan bahwa teori-teori itu benar. Secara tersirat, ini berarti hukum-hukum ilmiah bukanlah alat untuk membuat prediksi, namun hukum-hukum itu merupakan pernyataan sejati yang menggambarkan dunia –sebuah sudut pandang yang realistis.
Ada karakteristik menarik lain dari model Hempel-Oppenheim, yaitu bahwa eksplanasi dan prediksi memiliki struktur logis yang persis sama. Sebuah eksplanasi dapat digunakan untuk memprakirakan, dan sebuah prakiraan adalah sebuah eksplanasi yang sah.
Akhirnya, model nomologis-deduktif juga berhubungan dengan eksplanasi hukum-hukum. Dalam kasus demikian, explanandum adalah hukum ilmiah dan dapat dibuktikan dengan bantuan hukum-hukum ilmiah lainnya.
Aspects of Scientific Explanation (1965), menghadapi problem eksplanasi induktif, di mana explanans mencakup hukum-hukum statistik. Menurut Hempel, dalam eksplanasi semacam itu, explanans hanya memberi derajat probabilitas yang tinggi pada explanandum, yang bukan merupakan konsekuensi logis dari premis-premis bersangkutan.
Patut dicatat bahwa eksplanasi induktif menuntut suatu hukum yang mencakup (covering law); di mana fakta dijelaskan lewat sarana hukum-hukum ilmiah. Namun sekarang, hukum-hukum itu tidak deterministik; hukum-hukum statistik juga diterima. Bagaimanapun, dalam banyak hal, eksplanasi induktif itu mirip dengan eksplanasi deduktif.
1.      Baik eksplanasi deduktif maupun induktif bersifat nomologis (maka, mereka memerlukan hukum-hukum universal).
2.      Fakta yang relevan adalah relasi logis antara explanans dan explanandum. Dalam eksplanasi deduktif, explanandum merupakan konsekuensi logis dari explanans. Sedangkan dalam eksplanasi induktif, hubungan itu bersifat induktif. Namun di masing-masing model, hanya aspek-aspek logis yang dianggap relevan. Hal-hal pragmatis tidak diperhitungkan.
3.      Simetri antara eksplanasi dan prediksi dipertahankan.
4.      Explanans itu harus benar.








Daftar Pustaka
A. A Wattimena, Reza. 2008. Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar .Jakarta: PT Grasindo
Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bird, Alexander. 1998. Philosophy of Science Fundamentals of Philosophy. Edinburgh: Routledge
Dua, Mikhael. 2007. Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Analitis, Dinamis dan Dialektis. Yogyakarta: Titian Gilang Printika
Feyerabend & Karl, Paul. 2006. The Philosophy of Science, An Encyclopedia, Edinburgh: Routledge
O. Kattsoff, Louis. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana yogya
Psillos, Stathis. 2007. Philosophy of Science A-Z. Edinburgh: Edinburgh University Press
Rosenberg, Alex. 2005. Philosophy of Science A contemporary Introduction Second Edition. Newyork: Routledge
Zaprulkhan. 2015. Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada



[1] Alex Rosenberg, Philosophy of Science A contemporary Introduction Second Edition (Newyork: Routledge, 2005), hal. 7
[2] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana yogya, 1992) hal. 33
[3] Stathis Psillos, Philosophy of Science A-Z (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007) hal 244
[4] Stathis Psillos ...,Ibid., hal 169
[5] Feyerabend, Paul Karl, dalam The Philosophy of Science, An Encyclopedia, (Routledge, 2006), hal. 306
[6] Feyerabend, Paul Karl ..., Ibid., hal.305-306
[7] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 100-101
[8] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Analitis, Dinamis dan Dialektis, (Yogyakarta: Titian Gilang Printika, 2007), hal. 40
[9] Mikhael Dua , ibid, hal 41
[10] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015) hal. 132-133
[11] Mikhael Dua..., op-cit, hal 41
[12] Mikhael Dua..., ibid, hal 54
[13] Zaprulkhan ,op-cit., hal 133
[14] Zaprulkhan... ,ibid., hal. 138
[15] Mikhael Dua..., op-cit,  hal. 59
[16] Zaprulkhan... ,op-cit., hal. 139
[17] Reza A. A Wattimena, Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar , (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hal. 183-187
[18] Mohammad Adib..., Op-cit, hal. 97
[19] Alexander Bird, Philosophy of Science Fundamentals of Philosophy, (Edinburgh: Routledge, 1998), hal. 41-42
[20] Alexander Bird ..., Ibid., hal. 44

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Perhatian Filsafat Ilmu Terhadap Sains "

Post a Comment