Kodifikasi Al-Qur'an




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sebuah undang-undang bagi agama Islam, yang diyakini oleh orang muslim akan keaslian dari Sang Ilahi, tanpa ada campur tangan manusia dalam merubah atau mengganti lafadz serta maknanya.
Ibarat pengemudi yang akan mengantarkan penumpangnya ke jalan lurus selamat dan sukses di dunia maupun di akhirat, ia tidak akan membawa penumpangnya menjadi tersesat dijalan, ataupun menjadi bingung dengan jalan yang banyak bahkan murtad, namun ia akan menjadikan penumpangnya merasakan ketenangan, mendapat petunjuk dan mengantar ketujuan penumpang dengan selamat. Akan tetapi, terkadang juga ada penumpang yang masih mempunyai keraguan dalam hatinya, terhadap jalur arah dan tujuan yang ditempuh si pengemudi ini, dia masih melihat kanan-kiri jalan, apakah jalannya sudah lurus apa tidak ?.
Tidak sedikit dari kalangan orang Islam sendiri yang masih teromabang-ambingkan dalam laut keyakinan, yang bisa juga, menjadikan orang Islam itu sendiri tenggelam dalam jurang kesesatan, padahal sudah jelas kita sudah mempunyai peta dan petunjuk untuk menempuh lautan dunia.
Fenomena yang sering terjadi ditengah-tengah perjalanan kehidupan kita, terkadang juga kita masih merasakan lemah dan tipisnya pengetahuan tentang agama Islam, apalagi dikhalayak masyarakat yang sangat sensitif sekali dengan masalah keyakinan, karena keyakinan agama mereka terbentuk berdasarkan budaya disekitar yang masih berpontensi besar bergoyang dan bergesar kekiri atau jatuh kebawah. Hal itu semua, tidak lain disebabkan oleh kedangkalan dan buramnya Ilmu pengetahuan tentang agama Islam, baik dari segi isi kandungan al-Qur’an, maupun tentang sejarah pembukuan al-Qur’an.
Dewasa ini para orientalis sudah menyoroti dan memantau setiap aksi atau activitas yang dilakukan orang Islam, mereka sedang mencari cela-cela kelemahan dan kebodohan orang Islam dalam beragama, mereka hendak meruntuhkan ajaran Islam dan keyakinan melalui cela kebodohan itu.
Dikalangan orientalis berusaha menepis sejarah punulisan al-Qur’an, kendati melihat rentang masa lima belas tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw. dengan didistribusikan naskah al-Qur’an ke pelbagai wilayah dunia Islam, banyak mereka memaksakan pendapat tentang kemungkinan terjadinya kesalah yang menyeruak ke dalam teks al- Qur’an dimasa itu.
Maka dari sinilah pentingnya kita mempelajari historis kodifikasi al-Qur’an pada masa Rasulullah hingga masa Ustman, serta mencari argument-argument yang tidak diragukan lagi kebenaranya untuk menjawab dan mematahkan pendapat para orientalis terhadap al- Qur’an, dan segera menutupi cela jalan bagi orang orientalis yang hendak mendistorsikan permasalah yang benar.
Dalam bahasan ini penulis mencoba menyoroti permasalah yang diilustrasikan di atas  yaitu tentang kodifikasi al-Qur’an dari masa Nabi Muhammad SAW, masa Abu Bakar dan masa Ustman bin ‘Afan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian Kodifikasi Al-Qur’an?
2. Bagaimana Proses Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Khalifah Ustman bin ‘Afan?
3. Bagaimana Perbedaan Pembukuan Al-Qur’an pada masa Kholifah Abu Bakar dan Usman?

1.3 Tujuan Penulisan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.    Mengetahui pengertian Kodifikasi Al-Qur’an
2.    Mengetahui Proses Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Khalifah Ustman bin ‘Afan
3.    Mengetahui Perbedaan Pembukuan Al-Qur’an pada masa Kholifah Abu Bakar dan Usman





BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Kodifikasi Al-Qur’an
Kata jama’a atau dalam bahasa populer adalah kodifikasi. Dalam bahasa Arab kata jama’a dari segi bahasa mempunyai arti menyusun yang terpisah atau yang tak beraturan. Yaitu mengumpulkan sesuatu dengan mendekatkan bagian satu dengan bagian yang lain.[1]
Dalam Ilmu al-Qur’an, kata jama’a mempunyai dua arti yang nantinya dari makna itu akan melahirkan ma’lumat-ma’lumat yang luas. Yang pertama jama’a mempunyai ma’na yaitu: menghafal semuanya. Dan makna yang kedua yaitu: membukukan al-Qur’an semuanya dalam bentuk tulisan dari ayat dan surat yang masih terpisah-pisah berkumpul menjadi satu.[2]
Seperti apa yang pernah dikatakan oleh ‘Abdulaah bin ‘Amru: Aku sudah mengumpulkan Al-Qur’an setiap malam hari, maksudnya saya sudah menghafalkan al-Qur’an. Dan selanjutnya yang telah dikatakan Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit ; “Ikutilah al-Qur’an lalu kumpulkanlah, maksudnya tulis al-Qur’an itu semuanya”.
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada al-Qur’an dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Mushaf al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨ tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9)

[793] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Qur’an selama-lamanya.

2.2 Proses Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Khalifah Ustman bin ‘Afan
1.  Munculnya Ide Pengumpulan Al-Qur’an
Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar. Latar belakang pengumpulan al-Qur'an di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka.
Penduduk Syam membaca al-Qur'an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.[3]
Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: “Pada masa pemerintahan Utsman guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Karena latar belakang dari kejadian tersebut, Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya ia berpendapat untuk melakukan tindakan prefentip menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan.
Sebagai khalifah yang ketiga Utsman tidak lagi menginginkan adanya variasi tersebut dan memerintahkan dituliskannya sebuah versi tunggal dalam bentuk bahasa Quraisy, dan Utsman menyerahkan tugas baru ini kepada Zaid bin Tsabit untuk memimpin pembakuan al-Qur’an dalam satu bahasa agar keragaman dialek tidak menjadi sebab disharmonisnya dalam komunitas muslim.[4]
Mereka semua sependapat agar Amirul Mu'minin menyalin dan memperbanyak mushhaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushhaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan al-Qur'an.
2.  Pembentukan Panitia Pengumpulan Al-Qur’an
Sahabat Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Adapun Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah.[5] Utsman berkata kepada mereka yaitu:
إِذَا اخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَ زَيْدٌ بْنُ ثَابِتٍ فِى شَيْءٍ مِنَ الْقُرْاۤنِ فَاكْتُبُوْهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ, فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ.
Artinya:
“Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentag sesuatu dari al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”[6]
Tugas panitia ini adalah membukukan al-Qur’an, yakni menyalin lembaran-lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman menasihatkan supaya:[7]
a)         Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an.
b)        Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan) maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Maka dikerjakanlah oleh panitia sebagai yang ditugaskan kepada mereka, dan setelah tugas itu selesai, maka lembaran-lembaran al-Qur’an yang dipinjam dari Hafshah itu dikembalikan kepadanya. Selanjutnya Utsman mengirim ke setiap wilayah mushhaf baru tersebut  dan memerintahkan agar semua al-Qur’an atau mushhaf lainnya dibakar. Zaid berkata: “ketika kami menyalin mushhaf saya teringat akan satu ayat dari surat al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah, maka kami mencarinya dan kami dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Anshari, ayat itu adalah:[8]
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
Artinya:
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”

3. Pengumpulan Al-Qur’an
Dengan ditugaskannya empat orang sahabat pilihan tersebut, maka hal itu merupakan sebuah langkah konkret untuk mengatasi kenyataan pahit yang terjadi. Apabila masa-masa dua khalifah sebelumnya, “Mushaf Abu Bakar” hanya disimpan di rumah, maka Ustman melihat perlunya memasyarakatkan mushaf itu.
Langkah Utsman memang lebih tepat dianggap memasyarakatkan Mushaf Abu Bakar sekaligus menyatukan bacaan. Alasannya yaitu karena Utsman tetap menyertakan Zaid bin Tsabit di dalam panitia. Zaid yang sejak zaman Rasulullah dan Abu Bakar terlibat langsung dalam penulisan dan penghimpunan al-Qur’an, dapat dipastikan di dalam panitia ini lebih banyak bereperan ketimbang tiga anggota panitia lainnya. Sehingga kemungkinan terjadinya perubahan, penambahan atau hilangnya kalimat tertentu dapat ditekan sampai pada titik nol dan keaslian al-Qur’an tetap terjamin.[9]
Zaid pun juga mengumpulkan bahan al-Qur’an yang terdapat pada daun kering, dan hafalan para sahabat Rasulullah. Caranya adalah dia mendengarkan dari orang-orang yang hafal, kemudian dicocokkannya dengan yang telah dituliskan pada bahan-bahan tersebut. Dia tidak mencukupkan dari sumber yang didengarnya saja, tapi juga mencocokkan kepada yang ditulis. [10]
Dia hanya menerima catatan yang mempunya dua syahid, yaitu dua saksi. Cara itu lebih menjamin daripada hanya hafalan belaka. Disamping itu Zaid sendiri termasuk orang yang hafal al-Qur’an. Ketentuan dua saksi ini ditetapkan berdasarkan keputusan Khalifah Abu Bakar, dalam pesannya kepada Zaid bin Tsabit dan Umar, Abu Bakar mengatakan:

اُقْعُدَا عَلَى بَابِ المَسْجِيْدِ. فَمَنْ جَاءَ كُمَا بِشَاهِدَيْنِ عَلَى شَيْءٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ فَاكْتُبَاهُ
Artinya:
“Duduklah kalian dipintu masjid. Siapa saja yang datanag kepada kalian membawa catatan al-Qur’an dengan dua saksi maka catatlah”.[11]
Menurut tokoh hadis yang dimaksud dua saksi atau syahidain disini tidak harus keduanya dalam bentuk hafalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu itu, sudah diterima ayatmnya apabila ayat yang disodorkan kepada tim didukung oleh dua hafalan dan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.pengertian Ibnu Hajar tentang syahidain ini sedikit berbeda, yaitu catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu seorang sahabat sudah dapat diterima bila memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu memang ditulis di hadapan Rasulullah.[12]
Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan “Al-Mushhaf”, dan panitia ditulis lima buah al-Mushhaf. Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula masing-masing Mushhaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri dinamai dengan “Mushhaf Al-Imam”.[13]
Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Ia khawatir kalau mushhaf yang bukan salinan “Panitia Empat” itu beredar. Padahal pada mushhaf-mushhaf yang peredarannya dikhawatirkan itu terdapat kalimat yang bukan al-Qur’an. Karena merupakan catatan khusus sahabat-sahabat tertentu. Di situ terdapat juga beberapa kalimat yang merupakan tafsiran dan bukan Kalam Allah.
Utsman mengatakan kepada mereka: “Bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy”. Utsman meminta kepada Hafshah binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushhaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafshah mengabulkannya.
Umar bin Shabba meriwayatkan melalui Sawwar bin Shabib: saya masuk ke kelompok kecil untuk bertemu dengan Ibn az-Zubair, lalu saya menanyakan kepadanya kenapa Utsman memusnahkan semua naskah kuno al-Qur’an?. Dia menjawab “pada zaman pemerintahan Umar ada pembual bicarayang telah mendekati khalifah memberitahukan kepadanya bahwa orang-orang telah berbeda dalam membaca al-Qur’an. Umar menyelesaikan masalah ini dengan mengumpulkan semua salinan naskah al-Qur’an dan menyamakan bacaan mereka, tetapi menderita yang sangat fatal akibat tikaman manut sebelum beliau dapat melakukan upaya lebih lanjut. Pada zaman pemerintahan Utsman, orang yang sama datang untuk mengingatkannya masalah yang sama dimana kemudian Utsman memerintahkan untuk membuat mushhaf tersendiri. Lalu dia mengutus saya menemui bekas istri Nabi Muhammad SAW, Aisah, agar mengambil kertas kulit (suhuf) yang Nabi Muhammad SAW. sendiri telah mendiktekan keseluruhan al-Qur’an. Mushhaf yang dikumpulkan secara independen kemudian dibandingkan dengan suhuf ini, dan setelah melakukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang ada, kemudian ia menyuruh agar semua salinan naskah al-Qur’an itu dimusnahkan.
Walaupun riwayat ini dianggap lemah menurut ukuran pada ahli hadis, tapi ada gunanya dalam menyebutkan riwayat ini yang menerangkan pengambilan suhuf yang ada dibawah pengawasan atau penjagaan Aisah. Riwayat dibawah ini bagaimanapun menguatkan riwayat-riwayat sebelumnya. Ibn Shabba meriwayatkan dari Harun bin Umar, yang mengaitkan bahwa: “Ketika Utsman hendak membuat salinan (naskah) resmi, dia meminta Aisah agar mengirimkannya kepada kertas kulit (suhuf) yang dibacakan oleh Nabi Muhammad yang disimpan dirumahnya. Kemudian dia menyuruh Zaid bin Tsabit membetulkan sebagaimana mestinya, pada waktu itu beliau merasa sibuk dan ingin mencurahkan waktunya mengurus masyarakat dan membuat ketentuan hukum sesame mereka”.[14]
Maka dari mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum muslimin di seluruh pelosok menyalin al-Qur’an itu. Adapun kelainan bacaan, sampai sekarang masih ada karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi terus dipakai oleh kaum muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis di masa Utsman itu.
Dengan demikian keistimewaan pembukuan al-Qur’an pada masa Utsman itu adalah:[15]
a)    Adanya penyerdahanaan dialek dari tujuh dialek menjadi satu dialek. Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: Utsman mengumpulkan manusia diatas satu dialek dari yang semula tujuh dialek, yang oleh Rasul telah dimutlakkan sebagai bacaan umatnya, ketika hal itu masih merupakan maslahah.
b)   Mengembalikan bacaan yang telah dihapus. Utsman bermaksud menyatukan mushhaf umat. Bacaanya tidak ada yang dihapus, ditulis dengan bentuk yang kokoh, dan mewajibkan umat membaca dan menghafalnya, (karena) dikhawatirkan masuknya kerusakan dan kesamaran pada generasi selanjutnya.
c)    Peringkasan terhadap apa yang ditetapkan pada pemeriksaan terakhir dan membuang selain hal tersebut. Sesungguhnya Ibnu Daudi telah meriwayatkan tentang mushaf-mushaf dari Muhd bin Sairi, dari Kutsair bin Aflah: Ketika Utsman menginginkan agar mushhaf-mushhaf ditulis, ia mengumpilkan dua belas orang dari golongan Anshar dan Quraisy. Diantara mereka terdapat Ubay bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Rawi berkata:  “Lalu mereka diutus keruangan dirumah umar dan dibawalah (mushhafnya). Saat itu Utsman mengadakan perjanjian dengan mereka, yakni apa bila diantara mereka berselisih dalam sesuatu, maka ia harus mengakhirkannya.” Muhd berkata: “Lalu ku katakan kepada orang-orang banyak tersebut, diantara mereka ada yang menulis (wahyu). Apakah kalian mengerti kenapa mereka mengakhirkannya?” ia mejawab: ”Tidak”. Muhd berkata: “Aku mengira, mereka mengakhirkannya karena terjadi perselisihan. Sedangkan yang lain melihat orang berselisih, padahal diantara mereka ada yang menulis tentang perjanjian lalu mereka menulis atas dasar perkataan orang itu.
d)   Peringkasan terhadap bacaan-bacaan yang telah kuat dan dikenal dari Rasulullah dan pembatalan hal-hal yang belum kuat.
e)    Susunan ayat dan surat sama seperti yang dikenal (saat ini).
Utsman memutuskan agar mushhaf-mushhaf yang beredar adalah mushhaf yang memenuhi persyaratan berikut:
a)    Harus mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b)   Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
c)    Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushhaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushhaf Utsman.
d)   Sistem penulisan yang digunakan mushhaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz al-Qur’an ketika turun.
e)    Semua yang bukan termasuk al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushhaf sebagian sahabat dimana mereka juga menulis makna ayat di dalam mushhaf, atau penjelasan nasikh-mansukh.
Mushhaf Abu Bakar setelah dipinjam dan disalin, Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Mushhaf itu tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Dalam buku Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dr. Shubhiy Shalih yang mengutip keterangannya dari Kitab Al-Mashhahif  karya Ibnu Abi Daud, menurunkan riwayat sebagai berikut: ”Marwan telah berusaha mengambilnya (mushhaf) dari tangannya (Hafshah) untuk kemudian membakarnya. Tetapi ia (Hafshah) tidak mau menyerahkannya sampai ketika ia wafat, Marwan mengambil mushhaf tersebut dan membakarnya”.
Bila dianalisis baik keengganan Hafshah menyerahkan mushhaf maupun Marwan yang bersikeras meminta mushhaf yang ada pada mushhaf, maka hal itu dapat dimengerti. Hafshah enggan menyerahkan Mushhaf Abu Bakar yang ia terima dari ayahnya yaitu Umar, karena ia tahu mushhaf itulah yang disalin oleh Utsman untuk disebarluaskan ke beberapa daerah. Sementara Marwan berkeinginan agar masyarakat hanya mengenal satu mushhaf. Dan Marwan tahu bahwa penulisan Mushhaf Utsman atau Mushhaf Utsmaniy dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu tetapi memperhatikan qira’at-qira’at yang dibenarkan Rasulullah.
Kaum muslimin sepakat bahwa seluruh mushhaf yang dibagikan Utsman ke berbagai penjuru negeri, berapapun jumlahnya adalah mushhaf yang sama dan mencakup semua isi al-Qur’an, yang diterima dari Nabi Muhammad. Musshaf tersebut berisi 114 surat, naskah tersebut tidak memiliki titik dan syakal (harokat), dan tidak pula memiliki tanda-tanda lain yang kita kenal dimasa ini. Bahkan menurut pendapat yang populer, ia tidak pula memiliki nama-nama surat dan bagian-bagian yang memisahkannya satu sama lain.
Kendati nasib semua mushhaf tersebut tidak diketahui secara pasti, namun Ibn Katsir pernah melihat mushhaf Utsmaniy yang ada di Syam. Ibn Katsir mengatakan sebagai berikut : adapun mushhaf Utsmaniyah yang diakui sebagai Mushhaf Imam maka yang termasyhur sekarang ini adalah yang terdapat di Syam dan tersimpan di Masjid Jami’ Damaskus. Dulu mushhaf tersebut disimpan di kota Thibriyyah, kemudian dipindahkan ke Damaskus pada akhir tahun 518 H. sungguh saya telah menyaksikan sendiri kitab agung dan mulia dengan tulisan tangan yang indah, jelas dan kuat, yang menggunakan tinta yang tahan luntur, dan ditulis di atas lembaran-lembaran yang saya duga adalah kulit unta.[16]
Perlu diketahui bahwa sebelum masa Utsman, telah terjadi perselisihan mengenai bacaan al-Qur’an, baik di daerah-daerah maupun di Madinah, setiap guru mempunyai bacaan tersendiri sehinggah anak-anak yang menerima pelajaran pun menjadi berselisih. Perselisihan ini berlanjut hingga masa Utsman kemudian disampaikanlah kasus itu oleh Hudzayfah kepada Utsman. Karena itulah ia sangat khawatir, kemudian menyampaikan amanatnya didepan jamaah sebagai berikut: “Kamu sekalian yang dekat dengan sayapun berselisih mengenai bacaan al-Qur’an dan salah bacaan, apalagi orang-orang yang berada di daerah-daerah. Saya yakin, mereka lebih hebat perselisihannya dan lebih besar kesalahannya dalam membaca al-Qur’an. Untuk itulah wahai sahabat-sahabat Muhammad tulislah sebuah Imam untuk manusia”.
Karena itulah mushhaf Utsman dinamakan Al-Imam, Utsman telah mengirimkan naskah mushhaf ini ke beberapa daerah dan memerintahkan agar membakar semua mushhaf selain mushhaf Utsman. Ibn Fadhli al ‘Umariy dalam kitabnya Masaliku I’Abrar ketika menerangkan sifat masjid Damaskus, berkata: ”Disebelah kirinya terdapat mushhaf Utsmaniy yang ditulis Amirul Mu’minin. Mushhaf Utsmaniy ini berada di masjid Damaskus pada masa al ‘Umary hingga abad 8 H. Para peneliti peninggalan bangsa Arab menegaskan, mushhaf inilah yang dipelihara di perpustakaan Leningrad, kemudian dipindahkan ke Inggris dan tetap disana hingga sekarang.[17]
Pembakuan teks al-Qur’an pada masa Utsman dapat diberi penanggalan pada suatu saat antara 650 hingga wafatnya Utsman pada 656. Masa ini merupakan titik utama dalam apa yang biasanya disebut sebagai pembentukan naskah resmi al-Qur’an. Bagaimanapun bentuk al-Qur’an sebelumnya, sudah jelas bahwa kitab yang di tangan kita sekarang merupakan al-Qur’an Utsmaniy. Organisasi yang di bentuk Utsman menentukan apa-apa yang mesti dimasukkan dan apa yang mesti dikeluarkan, organisasi mengatur nomor dan susunan surat, serta kerangka konsonantal (bentuk teks ketika titik-titik huruf tertentu dihilangkan). Jika kita berpendapat bahwa pemeliharaan setiap bagian terkecil dari wahyu (asli) merupakan suatu syarat mutlak, maka Zaid harus dikukuhkan karena telah menghasilkan suatu karya yang sangat mengagumkan.[18]
Periode Khulafaur-Rasyidin diakhiri dengan sebuah tragedi. Keluarga Utsman mempertahankan kekuasannya atas masyarakat melalui suatu keturunan Utsman yang bernama Muawiyah, sementara Ali  sebagai menantu Nabi dan sahabat Nabi terkemuka,  juga menginginkan posisi sebagai khalifah. Persaingan dalam merebut kekuasaan tersebut akhirnya mengakibatkan peperangan antara kedua belah pihak dan Muawiyah berhasil merebut kekuasaan tersebut, meskipun dia tidak pernah mengalahkan Ali secara total. Akan tetapi secara politik, masyaarakat mengalami perpecahan, dan lahirlah dua kelompok Islam.[19][22]
4. Pola Penulisan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan dalam Mushaf Usmani
Terdapat beberapa pola penulisan al-Qur’an dalam mushaf Usmani, seperti dikukuhkan Ahmad Adil Kamal dalam ‘Ulum Al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah bahasa Arab, yaitu:[20]
a)    Al-khadfu (الحَذْ فُ), yaitu berupa pengurangan huruf seperti pengurangan huruf waw  pada al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 11 dan alif  pada Al-Qur’an surat al-Maidah atat 41.
b)    Az-ziyadah ( الزِّيَادَةُ), yaitu penambahan huruf seperti yang terjadi pada al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 23 dan penambahan ya pada al-Qur’an surat ar-Rum ayat 8.
c)    Al-Badlu (الْبَدْ لُ), yaitu berupa penggantian suatu huruf dengan huruf lain, seperti mengganti alif  dengan huruf waw  pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 dan 276.
d)   Al-washlu (الْوَصْلُ) dan al-fashlu (الْفَصْلُ), yaitu meenggabungkan suatu lafal lain yang lazimnya dipisahkan, dan sebaliknya. Seperti menggabungkan lafal an (أَنْ) dengan lan (لَنْ) dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 3 sengan surat al-Kahdi ayat 48.
e)    Ma>fi>hi qira>ata>ni (مَافِيْهِ قِرَاتَانِ), yaitu menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki versi qiraat berbeda. Dalam hal ini, bila memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama maka pola penulisannya sama dalam setiap mushaf Usmani. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Fatihah ayat 4 dan surat al-Baqarah ayat 9. Lafal (مَلِكِ) dapat dibaca ma>liki (مَا لِكِ) dan bisa pula dibaca maliki (مَلِكِ).
acqããÏ0»sä  ©!$# tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä $tBur acqããy0øs  HwÎ) öNßg|¡àÿRr& $tBur tbráãèô±o ÇÒÈ     
Lafal (يَخْدَعُوْنَ) dalam ayat diatas dapat dibaca yukha>di’u>na (يُوْخَادِعُوْنَ) dan bisa pula dibaca yakhda’u>na (يَخْدَعُوْنَ).




2.4 Perbedaan Pembukuan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar dan Usman

1.    Perbedaan pembukuan al-qur’an pada khalifah abubakar adalah:
2.     

bentuk pemindahan dan penulisannya al-Quran ke dalam satu Mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul dari kepingan-kepingan  batu, pelepah kurma dan  kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyak Huffaz yang gugur.
1.     

























DAFTAR PUSTAKA
Abidin S, Zainal. Seluk Beluk Al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Amal, Taufik Adnan. Pengantar Studi Qur’an, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
Amirul Hasan dan Muhammad Halabi. Ulumul Al-Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997.
Arifin, Tajul. Kajian Al-Qur’an di Indonesia, Bandung: Mizan,1996.
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur’an-Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992.
Ash-Shabunny, Muhammad Aly. Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), Bandung: PT. Alma’arif, 1984.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, cet.VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Halimuddin. Pembahasan Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Halimuddin. Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992.
Haryono, M. Yudhie. Nalar Al-Qur’an, Jakarta: Nalar, 2002.
K. H. Moenawar Kholil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, Solo: Ramadhani, 1994.
Manna̅’ al-Qathha̅n, Maba̅hits Fi̅ ‘Ulu̅mil Qur’a̅n, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, t.th.
Mudzakir AS. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: PT.Mitra Kerjaya Indonesia, 2009.
Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
Sohirin Solihi, dkk, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu SampaiKompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2005.
Wadji, Farid. Fenomena Al-Qur’an: Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, Bandung: PT. Marja, 2002.
Wahid, Saad Abdul. Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.










[1] Fathi Muhammad ghorib, huququ mahfudzoh lilmualif, cet. I, hal 14.
[2] ibid.
[3] Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), (Bandung: PT. Alma’arif, 1984), 94. 
[4] Farid Wadji, Fenomena Al-Qur’an : Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, (Bandung : PT. Marja, 2002), 41. 
[5] Muhammad Aly Ash-Shabunny, Pengantar Studi Al-Qur’an (At-Tibyan), 95.
[6] Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 193.
[7] Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 35.
[8] Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 194.
[9] Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), 75. 
[10]  Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), 112.
[11] Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an – Studi Kompleksitas Al-Qur’an, 71.
[12]  Ibid, 72.
[13] Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, 36.
[14] Sohirin Solihi, dkk, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi,  (Jakarta: Gema Insani, 2005), 101-102.
[15] Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, Ulumul Al-Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1997), 124.
[16] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), 170-171. 
[17] Saad Abdul Wahid, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 81.
[18] Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Qur’an, (Jakarta: CV.Rajawali, 1991), 67.
[19][22] Tajul Arifin, M. A., Kajian Al-Qur’an di Indonesia, (Bandung: Mizan,1996),82
[20][23] Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Artha Rivera, 2008), 188-190

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Kodifikasi Al-Qur'an "

Post a Comment